News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Omnibus Law

Pemerintah Dinilai Tidak Transparan soal Omnibus Law, Kemenakertrans: Masih Identifikasi Masalah

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Massa buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020). Tuntutan mereka meminta RUU Omnibus Law dibatalkan jika merugikan kelompok buruh mereka pun kecewa karena buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draftnya. Tribunnews/Jeprima

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja terus menuai pro dan kontra.

Kepala Subdirektorat Standarisasi dan Fasilitas Pengupahan Kemenakertrans Amelia Diatri Tuangga Dewi menyebut, Omnibus Law merupakan semacam kompilasi dari banyak Undang-undang untuk mengatasi undang-undang yang tumpang tindih.

Omnibus Law juga berangkat dari situasi perubahan cepat dunia saat ini yang harus direspons dengan cepat pula.

Baca: Kapal MS Westerdam Ditolak 5 Negara karena Virus Corona, Kemenlu: 365 WNI dalam Keadaan Sehat

Baca: Bawa Penumpang Diduga Warga China, Sopir Taksi di Jepang Ini Terinfeksi Virus Corona

Baca: Ular Weling Miliki Bisa yang Mematikan, Ini 9 Hal yang Perlu Dipahami saat Berhadapan Dengannya

"Melalui Omnibus Law, mekanisme perubahan hukum dapat lebih cepat dilakukan. Misalnya saja, melalui RUU Cipta Kerja kita dapat memanusiakan manusia," ujar Amelia dalam pernyataannya, Kamis (13/2/2020).

Amelia juga menjelaskan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja tetap mengutamakan perlindungan dan kesejahteraan para pekerja.

Adapun terkait pernyataan bahwa Omnibus Law RUU Cipta kerja ini tertutup dari publik, ia menanggapi bahwa hal ini bukan ditutup-tutupi, namun memang belum waktunya untuk dibuka ke publik karena masih pada tahap identifikasi masalah.

"Ketika sudah rampung keseluruhan draftnya dan diberikan kepada DPR untuk dibahas, barulah draft RUU tersebut dapat dikritisi atau ditanggapi oleh publik melalui mekanisme yang berlaku," ujarnya.

Sementara itu Kepala Biro Hukum, Persidangan dan Humas Kemenko Perekonomian I Ketut Hadi Priatna mengatakan Omnibus Law adalah sebuah metode yang lumrah diterapkan saat ini di berbagai belahan dunia.

Melalui Omnibus Law, satu undang-undang dapat mengubah atau merevisi banyak poin dari banyak undang-undang sekaligus.

Dia kemudian memperjelas bahwa Omnibus Law berfungsi untuk merevisi bukan mencabut undang-undang yang berlaku.

Menurutnya, dengan metode ini perbaikan undang-undang dapat lebih mudah, lebih terarah dan cepat dilaksanakan.

Ia juga menambahkan bahwa di Indonesia pun Omnibus Law ini sudah beberapa kali digunakan.

"Omnibus Law ini tidak hanya terkait pekerja atau ketenagakerjaan, namun juga terkait penyederhanaan Izin mendirikan usaha. Misalnya saja, salah satu poin RUU ini yakni tentang bolehnya mendirikan PT Perseorangan, tidak harus Perseroan, " ujar I Ktut Hadi.

Ia menambahkan pemerintah melalui RUU Cipta Kerja ini juga ingin mengangkat kesejahteraan para pekerja dan memastikan pemenuhan hak-haknya.

Contoh lain adalah pada poin aturan yang terkait dengan mekanisme upah, dimana pekerja yang bekerja penuh waktu yakni selama 8 jam, harus diberikan upah harian atau bulanan, sedangkan yang bekerja paruh waktu diberikan upah per-jam.

"Ini merupakan RUU yang berkeadilan baik bagi pekerja maupun pengusaha. Adapun terkait penghapusan hukum pidana pada perusahaan pelanggar hukum, bukan berarti penghapusan secara keseluruhan," kata dia.

Penghapusan hukum yang dimaksud katanya hanya beberapa pelanggaran saja yang tidak diberikan hukum pidana, karena bukan pelanggaran yang begitu besar.

Sedangkan bagi pelanggaran besar, misalnya terkait pelanggaran hak pekerja ataupun kecelakaan kerja yang dikarenakan kesalahan perusahaan, tentunya akan tetap ada hukum pidana.

Sementara itu, Sekretaris Umum SPSI Afif Johan mengatakan pemerintah tidak transparan dalam perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

"Dalam proses pembuatan RUU Omnibus, Undang-undang Cipta Karya ini, para pekerja serikat pekerja kurang transparan. Karena kami tidak dilibatkan secara keseluruhan," ujarnya.

Menurutnya, pelibatan stakeholder dalam proses pembuatan RUU Omnibus Law tidak utuh.

Dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Masyarakat berhak menerima masukan, baik lisan maupun tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Serikat pekerja juga termasuk dalam masyarakat yang dituangkan dalam Pasal 96 Undang-Undang 12 Tahun 2011," katanya.

Bahkan, Afif menyebutkan, pekerja sampai saat ini masih belum memiliki RUU Omnibus Law.

Padahal RUU Omnibus Law Cipta Karya ini telah diajukan kepada DPR dan masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

"Idealnya, sebelum membuat draf RUU-nya ini resmi, libatkan kami, buka penuh utuh," ujarnya.

Terkait hal tersebut Juru Bicara PSI Mikhael Gorbachev lmengajak generasi milenial tidak boleh langsung menolak atau menerima Omnibus Law ini.

Perlu adanya kajian yang lebih dalam terkait persoalan ini.

Gorba juga kembali mengingatkan bahwa Omnibus Law adalah metode dalam pembuatan hukum dan hal ini menurutnya menarik, karena dapat menyapu bersih banyak undang-undang yang kurang baik dengan hanya satu undang-undang baru.

Ia kemudian menambahkan bahwa sebagai generasi milenial, harus memantau, mengawasi dan apabila adanya indikasi keburukan, maka kita tentunya harus mengkritisi.

"Baginya melalui metode Omnibus Law ini, generasi milenial lah yang harusnya paling diuntungkan, karena akan dimudahkan," tegasnya.

Revolusioner

Pengamat Komunikasi Emrus Sihombing mengungkapkan bahwa Omnibus Law ini revolusioner, dimana banya undang-undang dapat diubah atau dengan kata lain disederhanakan dengan satu undang-undang baru, sehingga dapat menutup peluang bagi para mafia untuk mengambil keuntungan.

Lebih jauh Omnibus Law ini akan berdampak pada kesejahteraan di berbagai bidang, baik ekonomi, politik maupun sosial.

Omnibus Law juga seharusnya dimanfaatkan untuk permasalahan bangsa lainnya, misalnya toleransi beragama.

Massa buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020). Tuntutan mereka meminta RUU Omnibus Law dibatalkan jika merugikan kelompok buruh mereka pun kecewa karena buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draftnya. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

"Dalam proses penyusunannya Omnibus Law ini seharusnya melibatkan publik secara terbuka, misalnya untuk UU Cipta Kerja harus melibatkan organisasi Ketenagakerjaan, seperti Serikat Pekerja. Segala proses pembentukan kebijakan publik termasuk yang melalui Omnibus Law ini haruslah dilaksanakan bersama-sama rakyat, termasuk generasi milenial, "ujarnya.

Menurutnya Omnibus Law ini tidak sekadar metode, melainkan juga proses pembentukan hukum yang sudah seharusnya melibatkan segala komponen masyarakat.

Apalagi dengan banyaknya hukum yang saling tumpang tindih, Omnibus Law adalah solusi terbaiknya selama melibatkan masyarakat umum secara aktif.

"Omnibus Law ini baik secara ide, namun akan kesulitan dalam pelaksanannya. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajiban bahwa Omnibus Law ini harus juga melalui kajian akademis yang mendalam, agar terhindar dari kepentingan politik atau perseorangan," tegasnya.(Willy Widianto)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini