TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah secara tegas telah memutuskan untuk tidak memulangkan warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS ke Tanah Air.
Pengamat Terorisme, Ridlwan Habib turut menyoroti keputusan tersebut.
Menurutnya, langkah pemerintah itu akan memunculkan risiko baru.
Yakni, adanya penyerangan dari simpatisan ISIS yang berada di Indonesia.
Sehingga, Ridlwan mengimbau agar pemerintah segera mengambil tindakan untuk mengantisipasi risiko yang kemungkinan akan muncul.
Pernyataan Ridlwan disampaikan dalam program PRIME TALK yang dilansir dari YouTube metrotvnews, Kamis (13/2/2020).
"Saya kira setelah ada keputusan tegas dari bapak presiden, ini yang harus dilakukan adalah antisipasi risiko yang kemungkinan muncul," ujarnya.
"Seperti risiko keamanan, dendam yang mungkin akan diwujudkan dalam bentuk aksi-aksi oleh simpatisan ISIS didalam negeri," jelasnya.
Menurutnya keputusan tidak memulangkan WNI eks ISIS ini akan memicu kemarahan dari para simpatisan ISIS yang berada di Tanah Air.
Indonesia dinilai oleh kelompok tersebut sebagai negara yang tidak melindungi warga negaranya.
"Mereka semakin jengkel, marah kepada negara, karena menganggap telah menelantarkan wanita dan anak-anak mereka di Suriah," ungkapnya.
"Jadi ini harus diwaspadai," kata Ridlwan.
Lebih lanjut, Ridlwan menyatakan kemungkinan ini memang tidak boleh lepas dari perhatian pemerintah.
Baca: Narasumber Tak Ada yang Ngalah soal Polemik ISIS, Kata-kata Hikmahanto Juwana Buat Penonton Bersorak
Baca: Terkait Pemulangan Anak-anak dari Eks Teroris ISIS, Pakar Hukum Minta Pemerintah Tunggu Putusan PBB
Mengingat masih banyaknya anggota kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) jaringan ISIS di Indonesia.
"Terkait kemungkinan adanya aksi balas dendam jaringan ISIS di Indonesia, seberapa besar retaliasi itu akan terjadi?" tanya pembawa acara program PRIME TALK.
"Kami tidak bisa menghitung," timpal Ridlwan.
"Tetapi kalau data dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sekarang ini 1200 anggota JAD masih bebas, maksudnya berada di luar penjara," jelas Ridlwan.
"Kalau asumsi 10 persen dari mereka berpikir melakukan balas dendam itu kan resikonya besar," imbuhnya.
Oleh karena itu, menurutnya, daripada berdebat terkait status kewarganegaraan WNI eks ISIS ini, lebih baik pemerintah harus cepat mengantisipasi kemungkinan resiko yang akan muncul.
Lebih lanjut, Ridlwan juga mengungkapkan risiko lain yang akan kemungkinan dihadapi Indonesia karena telah menolak pemulangan ratusan WNI eks ISIS.
Yakni adanya gugatan yang dilayangkan oleh keluarga mereka, karena negara telah dianggap menelantarkan warganya.
"Risiko kedua adalah yang kami sebut resiko politik," ujarnya.
"Mungkin saja nantinya ada gugatan, misalnya ada keluarga yang (sanak saudaranya) ada di Suriah itu," jelasnya.
Mengingat masih banyak WNI eks ISIS yang masih menghubungi keluarganya di Indonesia.
"Bisa saja mereka mengajukan class action pada negara karena dianggap telah mengabaikan anggota keluarganya," kata Ridlwan.
Pemerintah Putuskan Tolak Wacana Pemulangan WNI Eks ISIS
Pemerintah telah memutuskan untuk tidak memulangkan sekiranya 689 WNI eks ISIS ke Indonesia.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD usai menggelar rapat yang dipimpin Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Selasa (11/2/2020).
"Pemerintah tidak ada rencana memulangkan terorisme, bahkan tidak akan memulangkan FTF ke Indonesia," kata Mahfud MD yang dikutip dari Tribunnews.
Adapun alasan pemerintah menolak wacana pemulangan 689 WNI eks ISIS adalah demi menjaga 267 juta rakyat Indonesia.
Baca: Jokowi Sebut ISIS eks WNI, Begini Penjelasan Pihak Istana: Presiden Konsisten
Baca: Debat Antara Guru Besar UI dan Fadli Zon tentang Pemulangan WNI Eks ISIS Tuai Reaksi dari Penonton
Pemerintah dan Negara wajib memberikan rasa aman rakyatnya dari ancaman terorisme dan virus-virus baru termasuk teroris.
"Kalau FTF ini pulang itu bisa menjadi virus baru yang membuat rakyat 267 juta itu merasa tidak aman," imbuhnya.
Mahfud MD menyebut, pemerintah akan memastikan data valid jumlah dan identitas orang-orang yang terlibat terorisme, termasuk bergabung dengan ISIS.
"Bersama dengan itu akan di data yang valid tentang jumlah dan identitas orang-orang itu," jelasnya. (*)
(Tribunnews.com/Isnaya Helmi Rahma/Fransiskus Adhiyuda Prasetia)