Dikatakan Idris, pintu masuk radikalisme tidak hanya dari tenaga pengajar, tetapi juga dari buku-buku pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan organisasi sekolah yang disusupi ekstrimisme, bahkan home schooling. Maka salah satu strategi untuk memperbaiki hal itu adalah melalui pendidikan agama.
“Partai Politik dan anggota dewan banyak yang tidak peduli dengan pendidikan agama. Padahal kebijakan-kebijakan ada di tangan anggota dewan. Maka dari itu, anggota dewan harus memberikan perhatian, supaya hal yang memungkinkan terjadinya eksrimisme dapat diatasi sejak dini,” ujarnya.
Dilanjutkan Pdt. Hendrek Lokra, strategi yang paling ampuh untuk mengatasi paham-paham radikalisme dan intoleransi adalah dengan dialog yang informal, seperti dialog lintas agama, dialog peradaban, dan dialog-dialog lainnya yang dapat mempersatukan baik suku, agama, ras, dan golongan.
“Penyebaran paham radikalisme dan intoleransi telah terjadi mulai dari PAUD hingga Perguruan Tinggi, bahkan tenaga pengajarnya terpapar radikalisme,” ungkapnya.
Menurut Hendrek Lokra, pemerintah tidak hadir dalam menjaga keber-agama-an di Indonesia. Hal ini dikatakan dia karena respon pemerintah yang cepat tanggap terhadap kasus yang terjadi di Minahasa, namun abai terhadap kasus yang terjadi di Karimun.
“Pemerintah tidak patuh pada konstitusi, namun patuh pada konstituen. Negara lebih menyenangkan mayoritas, ketimbang menjalankan konstitusi,” ujar Hendrek.
Untuk mengatasi hal tersebut, Hendrek berharap kehadiran Kelompok Cipayung dan OKP lainnya untuk hadir dalam kampus dan menciptakan ruang-ruang diskusi informal dengan membangun narasi perdamaian, Pancasila serta keadaban, dan kemudian memenangkan narasi di ruang publik.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasana mengatakan, reformasi menghadirkan dua pilihan yakni demokrasi dan kembali pada otoritarianisme.
Namun karena tidak kuatnya demokrasi, muncul pilihan ketiga yang membawa politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas. Pilihan ketiga ini terjadi di semua level masyarakat, hingga saat ini.
“Pilihan ketiga tersebut nyata dan melahirkan 421 perda diskriminatif, ada perda yang mengakselerasi intoleransi dan menjustifikasi intoleransi. Mereka menggunakan instrumen demokrasi untuk menyebarkan nilai-nilai anti demokrasi, menguasai ruang publik dan menajamkan politik identitas. Mereka menggunakan Perda syariah untuk menjadi kapital politik,” ujarnya.
Efek dari semua itu, lanjut Ismail, terjadi lokus radikalisme mulai dari kalangan Sekolah, Perguruan Tinggi, ASN, BUMN dan masyarakat lainnya.
“Kami pesimis melihat keseriusan pemerintah untuk menangkal radikalisme dan intoleransi yang terjadi hari ini. Imajinasi toleransi Jokowi masih dalam imajinasi investasi dan imajinasi infrastruktur, seperti saran beliau ketika akan membangun terowongan yang menghubungkan Katedral dan Istiqlal,” imbuhnya.
Solusi yang harus dilakukan pemerintah adalah adalah mendorong inclusive governance (tatakelola pemerintahan yang inklusif). Gagasan inklusif menjadi variabel penyelenggaraan pemerintahan, pembentukan regulasi, pengambilan kebijakan hingga penunjukan penyelenggara pemerintahan.
“Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah perlu kerja-kerja strategis, konseptual dan sustain. Sementara bagi lingkungan masyarakat, perlu diadakannya diskusi-diskusi masif, baik formal, maupun informal,” pungkasnya.