TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Organisasi Kepemudaan (OKP) Lintas Agama beberapa waktu lalu melaksanakan Focus Group Discussion dengan tema “Strategi Menangkal Radikalisme, Menyelesaikan Konflik, dan Membangun Dialog Lintas Agama di Tengah Generasi Muda Indonesia”.
FGD yang diinisiasi oleh GP Ansor, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Katolik, Gemabudhi, Peradah dan GAMKI, dilaksanakan di Gedung Grha Oikoumene, Salemba, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut adalah Hasanuddin Ali (CEO Alvara), Dr. Idris Thaha (Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah), Ismail Hasana (Direktur Eksekutif Setara Institute), dan Pdt. Hendrek Lokra (Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI).
Hasanuddin Ali mengatakan, dalam lima tahun ke depan, jumlah pemuda Indonesia mencapai kurang 50 persen. Baik tidaknya Indonesia di masa yang akan datang, merupakan potret pemuda hari ini.
Apabila ada radikalisme dan intoleransi di hari yang akan datang, maka itu adalah pemuda hari ini.
“Beberapa penelitian mengatakan bahwa ASN, pegawai BUMN, dan mahasiswa banyak yang terpapar radikalisme. ASN, pegawai BUMN dan mahasiswa berasal dari Perguruan Tinggi, maka sumber utama radikalisme dan intoleransi adalah Perguruan Tinggi. Salah satu cara untuk memutus mata rantai paham radikalisme tersebut adalah melalui Perguruan Tinggi dengan menghadirkan organisasi ektra kampus seperti Kelompok Cipayung maupun Paguyuban dan mengarusutamakan Pancasila,” ujar CEO Alvara ini.
Baca: Deradikalisasi: Kelompok Cipayung Harus Back to Campus
Hasanuddin mengungkapkan bahwa anak-anak SMA sudah mulai terpapar, bahkan tenaga pengajar banyak yang juga terpapar. Hal ini terjadi karena kurangnya kontrol orang tua terhadap anak, dan kurangnya kontrol negara terhadap tenaga pengajar sekolah.
Maka yang harus dilakukan, Ali mengatakan bahwa organisasi yang berbasis nasional dan berlandaskan Pancasila harus merebut kampus. Kampus harus beres dan dibebaskan dari kelompok-kelompok tertentu yang ingin menyebarkan paham radikalisme.
Kedua, lanjut Ali, negara harus memberikan tindakan hukum bagi orang-orang yang berpaham radikalisme. Namun harus sesuai dengan batasan-batasan.
Hal ketiga dikatakan Ali, fenomena hijrah di kalangan umat muslim banyak diikuti generasi muda.
Berbekal semangat yang tinggi, namun tidak memiliki bekal iman dan pemahaman agama yang cukup. Maka dari itu, menurut Ali, para Kyai harus hadir dan mendekatkan diri kepada kelompok-kelompok tersebut, dan memberikan pemahaman agama dan keberagaman Indonesia.
“Anak muda harus ulet dan memiliki militansi yang tinggi untuk menjaga keberagaman Indonesia ini dan membumikan Pancasila,” tegasnya.
Dr. Idris Thaha sebagai narasumber kedua mengatakan, di kalangan masyarakat, terdapat toleransi pasif dan toleransi aktif.
Toleransi pasif dikatakan Idris merupakan sikap ketidakpedulian terhadap lingkungan, namun tidak saling mengusik. Toleransi aktif adalah sikap kepedulian, rasa kerjasama atau gotong-royong.