Alasan dari keberatan ini adalah karena saat Pekerja Migran sudah berangkat ke negara tujuan, sudah bukan lagi tanggung jawab Perusahaan Penempatan Pekerja Migran.
Berbeda dengan UU No 39 Tahun 2004, di mana tanggung jawab Perusahaan Penempatan Pekerja Migran (dahulu disebut PJTKI) berawal dari perekrutan, memberi pelatihan mengurus dokumen, mengurus keberangkatan, penempatan dan bahkan sampai Pekerja Migran tersebut kembali ke tanah air, atau sesuai dengan masa kontrak kerjanya.
Menurut Saiful, dengan adanya UU No 18 tahun 2017 ini, Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia jadi terbatas ruang geraknya, lantaran aturan dari Undang Undang ini kewenangan yang dahulu biasa dilakukan oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran diambil alih oleh Pemerintah.
“Dulu, perusahaan merekrut, membekali dengan pelatihan, mengurus dokumen seperti Pasport, Visa sampai Medical Check Up. Tapi, sekarang semua diambil alih Pemerintah lewat Layanan Terpadu satu Atap (LTSA)," katanya.
Namun, sampai saat ini, lebih dari dua tahun, LTSA tersebut belum jalan.
"Padahal, dalam aturannya P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran) hanya boleh merekrut dari LTSA. Lah… kalau LTSA belum jalan, siapa dan apa yang mau direkrut?,” kata Saiful Mashud.
Uji Materi terhadap UU N0 18 Tahun 2017 yang dilakukan ASPATAKI tak hanya mewakili Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia saja, tapi juga mewakili suara para Pekerja Migran yang menyalurkan aspirasi serta suara hatinya di akun media social ASPATAKI.
Sidang lanjutan uji materi ini akan digelar hari Kamis, 20 Februari mendatang besok, merupakan sidang keempat, dengan agenda mendengarkan keterangan dari perwakilan Pemerintah dan Komisi IX DPR RI.