TRIBNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah kontroversi Rancangan Undang Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang dinilai merugikan kaum pekerja, terselip perjuangan yang tengah dilakukan oleh Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (ASPATAKI) untuk memperoleh keadilan.
ASPATAKI atau mengajukan uji materi UU No 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XVII/2019 ini adalah ASPATAKI yang menguji Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU PPMI.
Pasal 54 ayat (1) huruf a dan b UU No. 18/2017: “Untuk dapat memperoleh SIP3MI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
b. menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Baca: Ganjar Pikirkan Nasib Pekerja Tekstil di Sukoharjo Jika Pabrik Ditutup
Baca: Dampak Virus Corona, Pekerja Migran Indonesia Dilarang Ditempatkan di China Daratan
Baca: Oknum Kepala Desa Diduga Mesum, Warga Kampung Langkai Demo Tuntut Kades Sugiono Mundur
Kemudian, pasal 82 huruf a: “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah), setiap orang yang dengan sengaja menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia pada: a. jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja sehingga merugikan Calon Pekerja Migran Indonesia tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a”.
Sedangkan Pasal 85 huruf a: “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah), setiap orang yang: a. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja yang telah disepakati dan ditandatangani Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf a”.
Ketua Umum ASPATAKI, Saiful Mashud SH mengatakan, uji materi ini dilakukan lantaran terjadi ketidakadilan.
“Undang-Undangnya aneh dan lucu. perusahaan penempatan pekerja migrannya kan sudah lama berdiri, sudah lama berjalan masak harus dikenakan kewajiban deposit uang sampai Rp 1,5 miliar, kecuali kalau memang baru mau mendirikan perusahaannya ya, “ kata Saiful Mashud di Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Baca: Fakta RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Bonus Pekerja Capai 5 Kali Gaji, Uang Penghargaan Dipangkas
Baca: Sembilan Alasan Buruh Tolak Omnibus Law
Baca: Seorang Sopir Bawa Kabur Remaja Wanita 10 Hari Hingga Merudapaksa Korban
Bukan hanya itu, dalam kajian tim kuasa hukum ASPATAKI ini, banyak kejanggalan dalam Undang Undang No 18 Tahun 2017.
Saiful mencontohkan, aturan tentang kepindahan pekerja migran ke majikan lain sehingga tidak sesuai perjanjian kerja perusahaan penempatan pekerja bisa kena pidana.
"Bisa jadi pekerja migran ini memang kepingin pindah atau majikannya yang memindahkan dan pekerja migrannya setuju. Jadi aneh kalau perusahaan penempatan pekerja migran di sini dipidana," katanya.
Apalagi bila kembali pada hukum ajaran pidana Indonesia, jelas perusahaan tidak bisa diadili karena kita tidak melakukan apa-apa disini
Alasan dari keberatan ini adalah karena saat Pekerja Migran sudah berangkat ke negara tujuan, sudah bukan lagi tanggung jawab Perusahaan Penempatan Pekerja Migran.
Berbeda dengan UU No 39 Tahun 2004, di mana tanggung jawab Perusahaan Penempatan Pekerja Migran (dahulu disebut PJTKI) berawal dari perekrutan, memberi pelatihan mengurus dokumen, mengurus keberangkatan, penempatan dan bahkan sampai Pekerja Migran tersebut kembali ke tanah air, atau sesuai dengan masa kontrak kerjanya.
Menurut Saiful, dengan adanya UU No 18 tahun 2017 ini, Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia jadi terbatas ruang geraknya, lantaran aturan dari Undang Undang ini kewenangan yang dahulu biasa dilakukan oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran diambil alih oleh Pemerintah.
“Dulu, perusahaan merekrut, membekali dengan pelatihan, mengurus dokumen seperti Pasport, Visa sampai Medical Check Up. Tapi, sekarang semua diambil alih Pemerintah lewat Layanan Terpadu satu Atap (LTSA)," katanya.
Namun, sampai saat ini, lebih dari dua tahun, LTSA tersebut belum jalan.
"Padahal, dalam aturannya P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran) hanya boleh merekrut dari LTSA. Lah… kalau LTSA belum jalan, siapa dan apa yang mau direkrut?,” kata Saiful Mashud.
Uji Materi terhadap UU N0 18 Tahun 2017 yang dilakukan ASPATAKI tak hanya mewakili Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia saja, tapi juga mewakili suara para Pekerja Migran yang menyalurkan aspirasi serta suara hatinya di akun media social ASPATAKI.
Sidang lanjutan uji materi ini akan digelar hari Kamis, 20 Februari mendatang besok, merupakan sidang keempat, dengan agenda mendengarkan keterangan dari perwakilan Pemerintah dan Komisi IX DPR RI.