TRIBUNNEWS.COM - Beberapa waktu lalu, Amerika Serikat (AS) melalui Kantor Perwakilan Perdaganagan atau Office of the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mencabut Indonesia dari daftar negara berkembang.
Hal tersebut menandakan Indonesia ditempatkan Amerika Serikat sebagai negara maju.
Melansir Kontan.co.id, Minggu (23/2/2020), Amerika Serikat (AS) resmi mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang atau Developing and Least-Developed Countries (LGDCs) sejak 10 Februari 2020.
Melansir Business Insider lewat Kompas.com, pemerintah Donald Trump mengeluarkan kebijakan ini untuk mengurangi jumlah negara yang selama ini dianggap mendapatkan perlakuan istimewa.
Pada sektor perdagangan, menyandang status negara berkembang memang menguntungkan.
Hal ini karena barang impor dari negara berkembang yang masuk ke AS mendapat bea masuk lebih rendah jika dibandingkan dengan komoditas negara maju.
Aturan memberi perlakuan istimewa pada negara berkembang untuk membantu keluar dari kemiskinan.
Melansir South China Morning Post melalui Kompas.com, tujuan disusutkannya daftar internal negara berkembang untuk menurunkan batasan yang mendorong investigasi AS apakah suatu negara mengancam industri AS dengan subsidi ekspor yang tidak adil.
Menurut USTR, pedoman yang dibuat pada 1988 terkait metodologi negara berkembang untuk investigasi tarif perdagangan sudah usang dan perlu direvisi.
Menurutnya, pembaruan ini merupakan langkah penting kebijakan AS terkait negara-negara berkembang yang sudah berlangsung dua dekade.
Kebijakan tersebut membuat negara-negara berkembang bisa dikenakan tarif lebih tinggi atas komoditas yang dikirim ke AS.
Baca: Maksud Terselubung Amerika Serikat di Balik Keluarnya Indonesia dari Daftar Negara Berkembang
Baca: Presiden Iran Yakin Amerika Serikat Ogah Perang Lawan Iran, Ini Alasannya
Indonesia tidak sendiri, terdapat 24 negara lainnya yang dicoret AS dari daftar negara berkembang.
Negara-negara tersebut yakni Kolombia, Kosta Rika, Georgia, Hong Kong, India, dan Indonesia.
Kemudian Kazakhstan, Republik Kirgis Albania, Argentina, Armenia, Brazil, Bulgaria, dan China.
Selanjutnya Malaysia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Romania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Ukraina, dan Vietnam.
Sementara itu, dalam kunjungannya ke Davos, Swiss, pada bulan lalu, Trump menyebut WTO memperlakukan AS secara tidak adil.
"China dipandang sebagai negara berkembang, India dipandang sebagai negara berkembang."
"Kami tidak dipandang sebagai negara berkembang, sepanjang yang saya ketahui, kami juga negara berkembang," cetus Trump.
Baca: UPDATE Data Terbaru Korban Virus Corona: 2.457 Orang Meninggal dan 78.655 Terinfeksi di 32 Negara
Baca: Jakarta Kembali Dikepung Banjir, Yunarto Wijaya ke Anies Baswedan : Makasih 3 Kali Dikasih Hadiah
Bagaimana dampak bagi Indonesia?
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Shinta W Kamdani, menilai dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang akan berdampak signifikan pada ekspor.
"Pertama, manfaat fasilitas sistem tarif preferensial umum (Generalized System of Preference/GSP) AS untuk produk ekspor asal Indonesia akan hilang seluruhnya karena berdasarkan aturan internal AS terkait GSP, fasilitas ini hanya diberikan kepada negara yang mereka anggap sebagai LDCs dan negara berkembang," jelas Shinta yang Tribunnews kutip dari Kontan.co.id.
Shinta melihat redesignation atau pendesainan ulang Indonesia sebagai negara maju oleh AS, secara logika Indonesia tidak lagi berhak (eligible) sebagai penerima GSP.
Diketahui Generalized System of Preferences (GSP) adalah program pemerintah Amerika Serikat dalam mendorong pembangunan ekonomi negara-negara berkembang yang terdaftar.
Shinta mengungkapkan dianulirnya fasilitas GSP akan ada efek gulir yang signifikan.
Satu di antaranya, semua produk ekspor Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi perdagangan berdasarkan ketentuan subsidy & countervailing measures AS.
Shinta menjelaskan, produk-produk Indonesia yang dianggap memiliki keunggulan komparatif di pasar AS, akan rentan terkena penyelidikan subsidi perdagangan oleh Amerika berdasarkan penguasaan market shares atau keluhan pelaku usaha AS.
Shinta melanjutkan, meskipun konteksnya hanya penyelidikan, hal itu secara otomatis akan langsung mengenakan tambahan tarif anti subsidi di atas tarif most favoured nation (MFN) sampai sidang menyatakan bahwa produk yang diselidiki bebas subsidi.
Menurut Shinta hal itu membuat kerugian pangsa pasar di AS bisa menjadi sangat signifikan dan tiba-tiba.
Hal itu karena penyelidikan tersebut bisa dimulai kapan saja.
Menurutnya, begikut penyidikan dimulai, pangsa pasar dan kinerja ekspor Indonesia serta-merta turun drastis seperti yang terjadi dengan kasus penyelidikan subsidi AS terhadap biofuel asal Indonesia.
"Kalau ini terjadi pada banyak komoditas yang dijual ke AS, kinerja ekspor RI-Amerika bisa turun dengan signifikan dan kemungkinan besar tidak bisa naik lagi," tegasnya.
(Tribunnews.com/Fajar)(Kompas.com/Muhammad Idris/Sakina Rakhma Diah Setiawan)(Kontan.co.id/Arfyana Citra Rahayu)