Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar menyebut 91,8 persen mahasiswa merasa tidak dilibatkan dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law.
Ucapan Haris merujuk pada survei yang dilakukan Lokataru bekerja sama dengan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah hingga Trisakti kepada 77 kampus di 18 provinsi di Indonesia.
"Kita coba tanya beberapa hal. Seperti soal apakah mahasiswa sudah tahu soal Omnibus Law dan respon yang cukup tinggi dari mereka adalah sudah tahu atau mendengar. Kemudian apakah mereka dilibatkan (dalam membahas RUU Omnibus Law, - red), cukup tinggi mereka menjawab tidak dilibatkan, " ujar Haris Azhar di Lokataru Foundation, Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu (23/2/2020).
Baca: Jelang Munas V 2020, Apkasi Siap Bahas Omnibus Law di Forum Bupati Se-Indonesia
Haris Azhar juga menyebut para mahasiswa kebanyakan mengetahui perihal RUU tersebut melalui media cetak dan sosial media.
Karenanya, dia menyimpulkan bahwa mahasiswa tak bisa mendapatkan akses secara langsung dari pemerintah.
Baca: RUU Omnibus Law Cipta Kerja Ditolak Berbagai Pihak, Jokowi: Masyarakat Masih Bisa Beri Masukan
"Mereka dapat dari media cetak atau sosmed, jadi bukan dari bahan-bahan dari forum-forum yang memang diciptakan oleh negara, konsultasi atau dialog itu nggak (ada)," kata dia.
Berdasarkan hasil survei ini, pria yang pernah bergelut di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tersebut menilai RUU Omnibus Law tak ubahnya spanduk.
Dia menganalogikan RUU tersebut telah hadir dimana-mana dan diketahui banyak orang, tetapi pemilik spanduk tidak pernah menjelaskan apa maksud dan isi spanduknya.
Baca: Ungkap Sejumlah Kejanggalan, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun Sebut Omnibus Law Monster Baru
"Sebenarnya omnibus law ini masih barang seperti spanduk besar saja, yang hadir dimana-mana. Tapi orang yang memiliki yaitu pemerintah yang berkepentingan tidak pernah datang menjelaskan dalam konteks ini ke mahasiswa untuk mengajak dialog atau mencari masukan itu nggak pernah," katanya.
Sebelum jadi Undang-undang Publik Diminta Beri Masukan Terkait Omnibus Law
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta agar masyarakan segera memberikan masukan terkait butir pasal mana saja di dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang dianggap merugikan.
Mahfud MD menjelaskan, sekarang adalah waktu yang paling tepat untuk menyatakan penolakan dan terlibat dalam perancangan undang-undang (UU) penciptaan kerja tersebut.
Baca: Draft Omnibus Law Dianggap Sengsarakan Nasib Buruh
Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menerbitkan Surat Presiden (Surpres) terkait draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Surpres tersebut pun telah dipublikasikan. "Omnibus Law banyak yang menolak, silahkan ditolak, itu kan bukan undang-undang, baru RUU. Kalau anda punya masukan, sekarang waktunya karena presiden sudah mengeluarkan Surpres dan sudah dipublikasikan," kata Mahfud MD, Senin (17/2/2020).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan memiliki kewenangan mengubah Undang-Undang lewat Peraturan Pemerintah tanpa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tercantum dalam Bab XIII Ketentuan Lain-Lain Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Baca: BMKG: Peringatan Dini Besok Rabu 19 Februari 2020, Waspada Cuaca Ekstrem di Sejumlah Wilayah
Mahfud MD menengarai adanya kesalahan ketik dalam draf Omnibus Law Cipta Kerja yang menyatakan bahwa ketentuan dalam Undang-undang bisa diubah menggunakan Peraturan Pemerintah (PP). "Mungkin itu keliru ketik. Kalau isi Undang-undang diganti dengan PP diganti dengan Perpres itu tidak bisa," kata Mahfud.
Pasal 170 ayat 1 disebutkan Presiden berwenang mengubah UU. Pasal itu berbunyi, "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam
Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini," demikian bunyi Pasal 170 ayat 1.
Pasal 4 RUU Cipta Kerja mengatur mengenai kebijakan Cipta Kerja. Yaittu:
a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
b. peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
c. kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M serta perkoperasian; dan
d. peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional.
Baca: KPK Minta Haris Azhar Beberkan Siapa Pihak yang Menjaga Nurhadi di Apartemen Mewah
"Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah," demikian bunyi pasal 170 ayat 2. PP adalah mutlak kewenangan eksekutif. Namun dalam omnibus law, penyusunan PP dilakukan dengan konsultasi bersama DPR.
"Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia," demikian bunyi Pasal 170 ayat 3.
Anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Syarief Hasan, mengingatkan Jokowi untuk tidak mengeliminasi hak DPR melalui omnibus law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja. Disampaikan Syarief menyangkut Pasal 170 dalam draf aturan sapu jagat itu yang menyebut pemerintah dapat mengubah UU melalui peraturan pemerintah (PP). "Hak untuk melakukan legilasi itu kan ada di DPR, itu aja," kata Syarief.
Syarief mengingatkan bahwa DPR memiliki tiga fungsi, yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan.Ketua DPP PKS Mardani Ali Serana mengatakan aturan itu aneh karena mengubah UU merupakan domain dari legislatif. "Ide tentang Presiden bisa mengubah undang-undang dengan PP aneh. Level UU di atas PP. UU domainnya legislatif," kata Mardani.
Ia mengingatkan kepada masyarakat perlu mencermati isi Omnibus law tersebut karena bisa mengubah peraturan yang sudah ada.
Baca: Pengamat: Jangan Buat Omnibus Law Gunakan Cara Roro Jonggrang
Mardani mengkritik proses omnibus law secara umum. Ada hal-hal yang disebut Mardani aneh. "Selain mazhab yang tidak jelas, mestinya UU induk tidak dimasukkan dan tetap berlaku kecuali pasal-pasal yang direvisi," tutur Mardani.
Beleid Pasal 170 berbunyi:
(1) Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) berdasarkan Undang-undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-undang yang tidak diubah dalam Undang-undang ini.
(2) Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah pusat dapat berkonsultasi dengan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI