“Tantangan utama adalah lahan. Terdapat ketidakharmonisan antara UU Penataan Ruang, UU Pokok-Pokok Agraria, UU Kehutanan dan UU Sektor lainnya,” jelasnya.
“Di satu sisi kita sudah diskusi dengan masyarakat setempat, negosiasi, ternyata mereka tidak bisa diganti rugi. Karena yang ditinggali masyarakat tercatat sebagai kawasan hutan. Kami kan tidak bisa membatalkan begitu saja, karena peraturan undang-undang kami tidak boleh bayar ganti rugi karena status tanah tersebut,” contohnya.
Zainal mengatakan, persoalan tersebut kerap membuat pembangunan infrastruktur terhambat. Misalnya pembangunan Waduk Jati Gede yang telah dimulai sejak tahun 60-an, namun baru rampung tahun kemarin.
“Kami memastikan, pemerintah memberikan jaminan bahwa sepanjang lahan untuk kepentingan umum, perijinan yang terkait juga diberikan,” katanya.
Adapun, Guru Besar Fakultas Hukum UGM Maria S.W. Sumardjono menilai pembangunan infrastruktur memang mendorong pembangunan. Tetapi hal tersebut berdampak pada alih fungsi lahan.
“Industri sekitarnya pada bikin pabrik, sekitar infrastruktur itu,” jelasnya.
Terkait pembuatan RUU ini, hendaknya pemerintah berpijak pada Undang-undang yang sudah ada.
“Makanya dulu dibuat UU 41 2009. Saya sangat penasaran apa yang diubah dalam RUU ini. Ini katanya disusun untuk memperkuat reformasi agraria, supaya tercapai keadilan agraria,” ucapnya.
Tujuannya UU tersebut, kata Maria, yakni untuk melindungi kawasan, melindungi pemilikan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat, meningkatkan penyediaan pangan dan lapangan kerja, dan mempertahankan keseimbangan ekologis.