TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perhimpunan Organisasi Alumni Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (HIMPUNI) menggelar diskusi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Seri 7 di Sekretariat IKA UNDIP, Menteng, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Diskusi bertajuk “Pengendalian Lahan & Kemudahan Proyek Pemerintah” ini menghadirkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN, Sofyan Djalil sebagai pembicara.
Dijelaskan, Omnibus Law merupakan metode yang digunakan untuk mengganti dan/atau mencabut ketentuan dalam Undang-Undang, atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam UU ke dalam satu UU (Tematik).
Tujuannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas melalui kemudahan dan simplikasi perizinan, pemberdayaan UMKM dan koperasi, serta penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan pekerja yang berkelanjutan.
Sofyan menyebut, tanpa pendekatan omnibus seperti sekarang ini, presiden akan sulit laksanakan janji politiknya.
Menurut Djalil, undang-undang yang terlalu banyak dan sudah ada sangatlah sektoral. Kekuasaan Presiden, kata dia, selama ini oleh undang-undang diturunkan ke menteri.
Dia mencontohkan ada sebuah kasus pada tahun lalu. Industri kaca sudah mau tutup gara-gara tidak ada impor garam.
Pasalnya, soal garam adalah kewenangan menteri yang terkait. Sementara menteri terkait tidak mau mengeluarkan izin.
“Presiden lalu ambil alih, dan Presiden menyerahkan kewenangan itu ke Menteri Perindustrian. Ini banyak sekali praktik seperti ini dalam pemerintahan,” katanya.
“Kenapa pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law ini dikembalikan ke Presiden? Karena nanti yang laksanakan UU adalah Presiden, tapi bisa mendelegasikan. Menteri adalah pembantu Presiden. Kewenangan ada di Presiden,” paparnya.
Menurut dia, Indonesia punya potensi luar biasa, tapi diikat aturan yang banyak. Oleh karena itu, kata Djalil, RUU Omnibus Law dibuat dengan cara yang cepat seiring juga dengan era disrupsi.
“Kalau diubah satu per satu, butuh berapa tahun? Ayo berikan substansi secara terbuka,” ujarnya.
Di sisi lain, RUU Omnibus Law di bidang Pengendalian Lahan & Kemudahan Proyek Pemerintah ini sangat diperlukan oleh Kementerian PUPR.
Staf Ahli Menteri PUPR Bidang Ekonomi dan Investasi, Mohammad Zainal Fatah menyebut selama ini pihaknya mengalami kendala terkait UU dalam pelaksanaan program Kementerian PUPR.
“Tantangan utama adalah lahan. Terdapat ketidakharmonisan antara UU Penataan Ruang, UU Pokok-Pokok Agraria, UU Kehutanan dan UU Sektor lainnya,” jelasnya.
“Di satu sisi kita sudah diskusi dengan masyarakat setempat, negosiasi, ternyata mereka tidak bisa diganti rugi. Karena yang ditinggali masyarakat tercatat sebagai kawasan hutan. Kami kan tidak bisa membatalkan begitu saja, karena peraturan undang-undang kami tidak boleh bayar ganti rugi karena status tanah tersebut,” contohnya.
Zainal mengatakan, persoalan tersebut kerap membuat pembangunan infrastruktur terhambat. Misalnya pembangunan Waduk Jati Gede yang telah dimulai sejak tahun 60-an, namun baru rampung tahun kemarin.
“Kami memastikan, pemerintah memberikan jaminan bahwa sepanjang lahan untuk kepentingan umum, perijinan yang terkait juga diberikan,” katanya.
Adapun, Guru Besar Fakultas Hukum UGM Maria S.W. Sumardjono menilai pembangunan infrastruktur memang mendorong pembangunan. Tetapi hal tersebut berdampak pada alih fungsi lahan.
“Industri sekitarnya pada bikin pabrik, sekitar infrastruktur itu,” jelasnya.
Terkait pembuatan RUU ini, hendaknya pemerintah berpijak pada Undang-undang yang sudah ada.
“Makanya dulu dibuat UU 41 2009. Saya sangat penasaran apa yang diubah dalam RUU ini. Ini katanya disusun untuk memperkuat reformasi agraria, supaya tercapai keadilan agraria,” ucapnya.
Tujuannya UU tersebut, kata Maria, yakni untuk melindungi kawasan, melindungi pemilikan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat, meningkatkan penyediaan pangan dan lapangan kerja, dan mempertahankan keseimbangan ekologis.