Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua mengatakan keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) di KPK berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan dan kesempatan.
Pernyataan itu disampaikan Abdullah saat dihadirkan sebagai ahli untuk pemohon Permohonan Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Permohonan itu diajukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, dan kawan-kawan. Permohonan itu tercatat di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara 70/PUU-XVII/2019.
"Ada Dewan Pengawas yang di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, mereka tidak terpaku pada SOP (standar operasional prosedur,-red), kode etik, dan peraturan kepegawaian. Maka berpotensi pada penyalahgunaan kewenangan dan kesempatan," kata Abdullah Hehamahua, saat memberikan keterangan.
Baca: Diperiksa KPK, Tersangka Suap Pengadaan RTH Bandung Dadang Suganda Bakal Ditahan?
Baca: KPK Masih Belum Bisa Deteksi Keberadaan Harun Masiku
Baca: KPK Siapkan Hand Sanitizer di Gedung Merah Putih
Dia menjelaskan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan struktur organisasi KPK terdiri dari pimpinan KPK, penasihat KPK, dan pegawai.
Namun, kata dia, di UU KPK hasil revisi dimuat keberadaan Dewan Pengawas. Menurut dia, keberadaan Dewan Pengawas menggangu independensi pihak komisi anti rasuah tersebut.
"Dalam Undang-Undang yang baru struktur organisasi adalah Dewan Pengawas, Pimpinan, Pegawai. Berarti pimpinan KPK hanya berfungsi sebagai EO (Event Organizer,-red) melaksanakan tugas atau perintah dari dewan pengawas. Maka independensi seperti menjadi sangat terganggu," ujarnya.
UU KPK hasil revisi menugaskan Dewan Pengawas menyusun kode etik dan melakukan persidangan terhadap pelanggaran kode etik yang dilanggar pimpinan maupun pegawai KPK.
Tetapi, dia melihat, Dewan Pengawas tidak takluk terhadap Undang-Undang KPK, pada kode etik, standar operasional prosedur KPK, dan peraturan kepegawaian.
"Saya sebagai penasihat KPK takluk menggunakan ketentuan (masuk kerja-keluar kerja,-red) jam 08.00 sampai jam 17.00 WIB. Harus mengisi time sheet. (Keberadaan Dewan Pengawas,-red) Di sini terjadi potensi penyalahgunaan jabatan. Bisa terjadi conflict of interest," tuturnya.
Dia membandingkan keberadaan Dewan Pengawas di lembaga anti korupsi di luar negeri dengan di Indonesia.
Dia menambahkan, di Hongkong keberadaan Dewan Pengawas tidak memberikan izin penyidikan atau penggeledahan atau penyitaan atau penyadapan. Sebab, dia menegaskan, itu merupakan hak pimpinan lembaga anti korupsi.