Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Agung Muhammad Syarifuddin terpilih sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA) periode 2020-2025, Senin (6/4/2020).
Dia terpilih untuk menggantikan Hatta Ali yang akan pensiun pada 1 Mei 2020.
Menyikapi hal tersebut, Koalisi Pemantau Peradilan mengharapkan Syarifuddin bekerja sesuai amanah.
Koalisi terdiri dari YLBHI, LeIP, IJRS, ICJR, LBH Jakarta, PBHI, ELSAM, KontraS, ICW, LBH Masyarakat, PSHK, ICEL, LBH Apik Jakarta, PILNET Indonesia.
Baca: Hatta Ali Jabat Ketua Mahkamah Agung Sampai 30 April 2020
"Koalisi turut mengucapkan selamat. Semoga amanah mengembang tugas baru sebagai Ketua Mahkamah Agung," ujar perwakilan koalisi, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Peradilan (LeIP) Liza Farihah kepada Tribunnews.com, Senin (6/4/2020).
Selain itu, pihaknya pun memberikan catatan soal pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan Syarifuddin selaku Ketua MA terpilih.
Pertama, soal pungutan liar (pungli) di pengadilan.
Pada 2019, Tim Saber Pungli Badan Pengawasan MA berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Panitera PN Jepara dan Panitera Muda Perdata PN Wonosobo untuk selanjutnya dijatuhi hukuman disiplin.
Baca: Profil Lengkap Hatta Ali Ketua Mahkamah Agung Segera Menjalani Masa Pensiun
"Belum lagi berbagai pungutan liar lain yang terjadi di pengadilan dan dialami oleh para pencari keadilan dan penasihat hukumnya," kata Liza
Kedua, masih ada pejabat pengadilan yang tertangkap tangan menerima suap.
Liza menjabarkan, selama masa kepemimpinan Hatta Ali, terutama pada masa kepemimpinan jilid kedua, terdapat beberapa OTT terhadap Hakim PN Balikpapan (2019), Hakim Ad Hoc Tipikor PN Medan (2018), Hakim PN Tangerang (2018), Panitera Pengganti PN Tangerang (2018), Ketua PT Manado (2017), Hakim Ad Hoc Tipikor pada PN Bengkulu (2017), Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor pada PN Bengkulu (2017), dan Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan (2017).
Baca: BREAKING NEWS: Syarifuddin Terpilih Sebagai Ketua Mahkamah Agung Periode 2020-2025
Ketiga, belum terpenuhinya standar layanan keadilan yang sederhana, misalnya penyampaian salinan putusan yang masih terus berlarut-larut dan melampaui waktu 14 hari seperti yang diatur undang-undang sehingga sering menghalangi pihak berperkara untuk mengajukan upaya hukum.
"Selain itu, pelaksanaan sidang yang sering kali molor berjam-jam, tidak sesuai dengan waktu yang disebutkan dalam panggilan sidang," kata Liza.
Keempat, Liza mengujarkan, yaitu ihwal kualitas pertimbangan putusan Hakim/Hakim Agung yang masih jauh dari memadai dan jamaknya disparitas putusan yang terjadi.
Kelima, koalisi menekankan terkait tidak terpenuhinya hak-hak para pihak dalam pemeriksaan dan penanganan perkara, terutama dalam perkara pidana.
"Misalnya hak atas bantuan hukum, hak atas perlindungan dari penyiksaan dalam pemeriksaan untuk proses penyidikan, hak untuk mendapatkan penerjemah, hak atas layanan kesehatan, dan lainnya," kata Liza.