TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akademisi dari Universitas Islam Sunan Gunung Djati, M Yusuf Wibisono menilai RUU Cipta Kerja yang kini mulai dibahas Badan Legislasi DPR RI perlu melihat kajian atau diskusi publik yang membahas secara ilmiah dan obyektif isi RUU.
Yusuf Wibisono yang beberapa bulan terakhir melakukan kajian terkait polemik RUU Ciptaker menilai, suara terkait RUU Ciptaker di media, perlu diperkaya dengan kajian-kajian dari berbagai perspektif.
‘’Karena ini kan Omnibus Law, gabungan banyak undang-undang. Kebayang kan, ini tuh bangunan atau rancangan bangunan yang sangat besar. Kalau ia dibuat dengan tujuan memperbaiki iklim perekonomian, artinya banyak aspek yang harus dibahas di situ. Yang diperbaiki yang mana, yang diperdalam yang mana, yang didiskusikan yang mana harus jelas. Memang tidak mungkin diterima semua, atau sebaliknya, ditolak semua, padahal dibahas saja belum,’’ kata Yusuf lagi.
Pegiat kelompok diskusi Madrasah Malam Reboan UIN SGD Bandung itu menyatakan, dalam salah kajiannya bersama kolega akademisi lain, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja akan merevisi 51 pasal dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan outlook perekonomian 2020 yang dirilis Kementerian Koordinator Perekonomian, isu ketenagakerjaan menjadi salah satu tantangan internal atas perekonomian Indonesia pada tahun depan.
‘’Sampai di sini, kita memahami pentingnya perbaikan ekosistem ketenagakerjaan. Itu jelas kepentingan bersama. Masuk akal juga misalnya, kalau pemerintah bilang, pokok-pokok regulasi ketenagakerjaan perlu disusun ulang agar sistem ketenagakerjaan yang lebih fleskibel dan kondusif terhadap iklim investasi serta iklim usaha,’’ tutur Yusuf lagi.
Logikanya, tambah Yusuf, kalau iklim investasi baik, maka industri dan dunia usaha umumnya diharapkan membaik. Banyak tenaga kerja terserap. Dan inilah, menurut Yusuf yang dibutuhkan saat ini.
‘’Terlebih karena pandemik corona. Banyak industri terpukul, terancam gulung tikar dan PHK mulai terjadi. Orang butuh kerja, kan harus ada yang dikerjakan. Mempersoalkan hak-hak pekerja itu penting, tapi kita mau bicara apa kalau tidak ada lapangan kerja?’’ paparnya.
Lazimnya, tambah Yusuf, meningkatnya angka pengangguran hanya dapat diatasi dengan cara menyediakan lapangan kerja.
Sedangkan lapangan kerja akan terbuka apabila ada kegiatan investasi yang kondusif, terutama pada sektor riil yang menghasilkan barang dan jasa.
Menurut peneliti dan pemerhati masalah sosial politik ini, hal tersebut perlu menjadi perhatian karena tingkat pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi.
‘’Pengangguran ini kalau merujuk data BPS jumlahnya mencapai 7 juta lebih. Kalau ditolak dengan angkatan kerja baru, lalu yang setengah penganguran sekitar 8 jutaan, ditambah pekerja paruh waktu 28,41 juta, keseluruhannya 45,84 juta (34,4%) angkatan. Saya kira, angka ini bisa saja semakin buruk karena situasi sekarang, ada corona. Nah, harus ada upaya yang menjanjikan untuk mengatasinya,’’ katanya.
Yusuf justru mengapresiasi Omnibus Law RUU Ciptaker yang memuat pengaturan hubungan antara pekerja dengan usaha kecil dan menengah yang berbasis pada kesepakatan kerja.
Demikian pula terkait dengan model pengupahan, dimungkinkan berbasis pada jam kerja ataupun berbasis harian, sehingga lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan perusahaan.
Intinya, kata Yusuf, RUU ini berusaha membentuk iklim ketenagakerjaan yang easy hiring dan easy firing.
‘’Karena itu, ketika kita tahu bahwa RUU Ciptaker digagas untuk tujuan baik, maka bicarakan dengan baik. Sekali lagi, ini bangunan besar multi aspek, jangan digeneralisir sebagai produk yang seluruhnya negatif. Coba kita lihat, bagaimana kita melalukan percepatan pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan? Apakah kita sudah berusaha menyediakan lapangan pekerjaan dengan cara menyederhanakan perizinan investasi, dan meminimalisir tumpang tindihnya regulasi? Kalau belum, artinya RUU ini lebih dari layak dipertimbangkan,’’ tutur Yusuf.