News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polemik Surat Stafsus, ICW Desak Jokowi Pecat Andi Taufan, Ombudsman Minta Evaluasi Total

Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Wulan Kurnia Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Founder dan CEO Amartha, Andi Taufan Garuda Putra (KOMPAS.com/MUTIA FAUZIA)

TRIBUNNEWS.COM - Staf khusus (stafsus) milenial Presiden Joko Widodo (Jokowi), Andi Taufan Garuda Putra, menjadi pusat perhatian setelah suratnya yang ditujukan kepada camat di Indonesia dianggap tidak tepat.

Surat yang ditandatangani Anfi Taufan tersebut menggunakan kop Sekretariat Kabinet.

Selain itu, surat tersebut juga mengaitkan dengan nama perusahaan milik Andi Tufan sendiri, PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) dalam program pencegahan dan penanggulangan covid-19 di Indonesia.

Para camat diminta mendukung edukasi dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri (APD) untuk melawan wabah covid-19 yang dilakukan PT Amartha.

Andi Taufan diketahui juga menjabat sebagai CEO PT Amartha.

Meski surat tersebut dinyatakan telah dicabut, polemik tersebut pun memicu berbagai reaksi dari berbagai kalangan.

CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra (HANDOUT)

Baca: Salah Kaprah Surat Stafsus Presiden, Ahli Tata Negara: Dia Tak Punya Wewenang Eksekusi

ICW Desak Jokowi Pecat Andi Taufan

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai langkah Andi Taufan bermasalah.

"Tindakan Andi Taufan mengarah pada konflik kepentingan. Sebagai pejabat publik, ia tak berpegang pada prinsip etika publik," ujar Peneliti ICW, Wana Alamsyah melalui keterangan tertulis kepada Tribunnews, Selasa (14/4/2020).

"Pejabat publik diharuskan untuk memiliki etika publik, di mana kesadaran dalam mengambil keputusan atau kebijakan tertentu, harus didasarkan pada nilai-nilai luhur dan kepentingan publik," imbuhnya.

Wana mengungkapkan nilai-nilai luhur tersebut di antaranya kejujuran, integritas, dan menghindari munculnya konflik kepentingan dalam memberikan pelayanan publik dan menghasilkan kebijakan publik.

Konflik kepentingan, menurut dia, merupakan satu di antara pintu masuk korupsi.

Baca: Surat Staf Milenial Jokowi kepada Camat Dinilai Maladministrasi, Pengamat: Niat Baik Saja Tak Cukup

Pejabat publik dinilai harus dapat membedakan kepentingan pribadi dan kepentingan publik.

"Konflik kepentingan mesti dipahami secara luas, yakni tidak mendapat keuntungan material semata, akan tetapi segala hal yang mengarah pada kepentingan diri, keluarga, perusahaan pribadi, partai politik, dan lain-lain," ujar Wana.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini