TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana mengatakan bahwa pihaknya tetap menolak RUU Cipta Kerja, meski pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan Klaster Ketenagakerjaan dalam RUU tersebut. Karena menurut Arif, pemerintah dan DPR tetap akan membahasnya di kemudian hari.
"Pada perkembangannya, Presiden dan DPR menyatakan sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja. Alih-alih mencabut dari prolegnas, penundaan ini tidak memberi jaminan apapun karena pembahasannya akan tetap dilakukan," ujar Arif dalam siaran persnya, Sabtu, (25/4/2020),
Bahkan menurutnya, sekalipun klaster ketenagakerjaan dihapus, tetap bukan jaminan.
Karena pekerja tentu juga terancam penggusuran paksa dan pencemaran lingkungan hidup.
-
Baca: Ketua Baleg DPR Usul Tunda Pembahasan Klaster Ketenagakerjaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja
-
Baca: Warga DKI Dirawat di RS Terkait Covid-19 Jumlahnya 1.947, 1.050 Lainnya Isolasi Mandiri
Ia mengatakan peningkatan pembangunan yang digaungkan dalam RUU Cipta Kerja ini tidak sejalan dengan substansinya yang justru melanggengkan perampasan ruang hidup melalui penggusuran paksa atas nama investasi.
LBH Jakarta menurutnya, menemukan banyak persoalan yang muncul dari RUU Cipta Kerja, antara lain, adanya penambahan alasan menggusur paksa; melegitimasi pelanggaran hak atas kota; menghapus kesetaraan dalam proses musyawarah, memperparah pelanggaran tata ruang dan alih fungsi zona serta bersifat diskriminatif dalam penegakan hukum.
Arif mengatakan RUU Cipta Kerja akan menambah jumlah penggusuran paksa karena masih diakuinya jenis kegiatan Penataan pemukiman Kumuh Perkotaan dalam RUU tersebut.
“Pemerintah masih mempertahankan jenis kegiatan ‘Penataan Pemukiman Kumuh Perkotaan’ sebagai objek pengadaan lahan dalam RUU Cipta Kerja. Jenis kegiatan tersebut seringkali disalahgunakan sebagai alasan untuk menggusur paksa warga. Padahal penggusuran paksa adalah pelanggaran HAM berat berdasarkan Resolusi Komisi HAM PBB No. 2004/2.39.” katanya.
Arif juga menyatakan posisi pekerja akan semakin terancam karena RUU Cipta Kerja melemahkan norma pidana perburuhan.
“Ada 13 jenis tindak pidana perburuhan yang dihapus dan beberapa diubah menjadi sanksi administratif. Salah satunya, penghapusan Pasal 76 juncto Pasal 187 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pengusaha yang tidak melindungi pekerja perempuan khususnya dalam hal dipekerjakan pada malam hari, dihapus.” tuturnya.
Sementara itu pengacara LBH Jakarta Citra Referendum menyoroti pengadaan lahan yang dapat langsung dilaksanakan tanpa adanya konsultasi publik jika RUU Cipta Kerja diberlakukan.
“Ketentuan Pasal 121 Angka 5 RUU Cipta Kerja memasukkan satu pengaturan baru bahwa tanah yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar, pengadaannya dapat ‘langsung’ dilakukan melalui penetapan Bupati/Walikota. Frasa langsung tersebut menghilangkan tahapan konsultasi publik dalam proses pengadaan tanah. Alhasil, masyarakat terdampak akan kehilangan hak untuk mengajukan keberatan atau menolak adanya pengadaan tanah tersebut.” katanya.
Pada aspek ketenagakerjaan, RUU Cipta Kerja akan berimplikasi terhadap hilangnya hak-hak pekerja sehingga kian melegitimasi negara melakukan pemiskinan struktural.
LBH Jakarta dalam Kertas Kebijakannya mencatat persoalan RUU Cipta Kerja dalam klaster ketenagakerjaan yaitu mengorbankan perlindungan hak-hak pekerja demi akumulasi kapital, menghilangkan hak-hak pekerja perempuan, sistem kerja kontrak seumur hidup, memperluas outsourcing, memperpanjang waktu kerja, menghapus hak-hak cuti pekerja, mendukung politik upah murah, membuka ruang pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, menggerogoti hak-hak pekerja pasca PHK dan menghapus 13 jenis tindak pidana perburuhan.
Selain itu menurutnya, RUU Cipta Kerja kian menguatkan politik upah murah di Indonesia.
“RUU Cipta Kerja menghilangkan partisipasi pekerja dalam meninjau komponen dan jenis kebutuhan hidup layak karena yang diberi kewenangan hanya Menteri dan Dewan Pengupahan Nasional berdasarkan data/informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pekerja tidak lagi dilibatkan dalam survei pasar sebagaimana selama ini dilakukan melalui survei tandingan.
Ditambah dengan soal data dan informasi BPS yang hanya mengedepankan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi, padahal kita tahu jelas bahwa hasilnya tidak menjawab nilai riil kebutuhan hidup layak.” katanya.
Atas berbagai permasalahan tersebut, LBH Jakarta melalui Kertas Kebijakannya merekomendasikan kepada Presiden dan DPR RI, untuk menghentikan seluruh proses pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja demi kepentingan Rakyat Indonesia.
Lalu kedua, mencabut draf RUU Cipta Kerja dari Program Legislasi Nasional, ketiga mengedepankan dan memperkuat perlindungan serta pemenuhan hak-hak masyarakat, termasuk kelompok pekerja.
Lalu, menggalakkan gerakan pemberantasan korupsi yang sebetulnya merupakan penyebab segala ketimpangan ekonomi dan sosial.
"Terakhir menuntut Pemerintah menanggalkan politik pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat," pungkasnya.