Sementara itu, di beberapa daerah permasalahan data penerima menjadi faktor belum optimalnya pendistribusian bansos.
Masih banyak rakyat miskin maupun rentan miskin yang luput dari pendataan penerima bansos.
Alhasil, pemerintah harus bekerja dua kali dengan menarik bansos dan melakukan pendataan ulang.
Tidak hanya soal data, pemerintah bahkan mengakui sempat mengalami kendala dalam penyaluran bansos gara-gara tas jinjing pengemas bansos.
Baca: Jika PSBB Jakarta Sudah Mulai Membuahkan Hasil, Ada Harapan Pertumbuhan Ekonomi Membaik
Seperti halnya yang terjadi di Jawa Barat.
Gubernur Ridwan Kamil menyebut persoalan yang ada antara lain waktu datangnya bansos dan data yang tidak akurat.
"Dinamika Bansos, terdapat 1,7 juta data KK yang diinput ternyata invalid alias ngaco."
"Masalah utama tentang bantuan yang belum datang, terdapat di data yang diajukan dari daerah banyak yang bermasalah," ujar Emil melalui instagram pribadinya, Rabu (29/4/2020) dilansir Kompas.com.
Gubernur yang akrab disapa Emil pun secara tegas meminta perangkat daerah untuk introspeksi.
"Jadi sebelum ada aparat di daerah yang marah-marah, silakan instrospeksi kenapa semangat mengisi nama warganya namun masih banyak tanpa alamat domisili atau nomor KTP atau NIK-nya tidak ada," kata dia.
Baca: PSBB di Bandung Raya Mulai 22 April, Ridwan Kamil: Tidak Ada Hari tanpa Razia
Emil juga menemukan adanya lompatan jumlah penerima bantuan dari 9 juta jiwa sebelum Covid-19, menjadi 38 juta jiwa setelah covid-19.
Adapun 63 persen warga kelas menengah jatuh pada garis rawan miskin.
"Terlampir, data terakhir per 28 April 2020 terdapat 9,4 juta KK yang dengan kerumitannya harus dibagi ke dalam 9 pintu bantuan."
"Itulah kenapa Provinsi Jawa Barat yang bertanggung jawab di 2 pintu dari 9 pintu bantuan, memilih turun duluan dari tanggal 15 April 2020 kepada yang warga datanya sudah bersih dan clear," tutur Emil.