Laporan wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Peraturan Presiden tentang tugas TNI menangani aksi terorisme merupakan implementasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Hal itu disampaikan Guru Besar Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Bandung, Muradi kepada Tribunnews.com, Kamis (14/5/2020).
"Sebagai bagian dari kesepakatan politik dalam UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Antiteror, keterlibatan TNI dalam pemberantasan dan pencegahan terorisme secara eksplisit ditegaskan dalam pasal tersendiri (Pasal 43I) dan secara operasionalnya diatur Perpres," ujar Muradi.
Baca: Ceritakan Sosok sang Ayah, Ernest Prakasa Kenang Kejadian Masa Kecil Tentang Pentingnya Sebuah Janji
Dalam rancangan Perpres itu, kata Muradi, secara gamblang dan normatif disajikan terkait batasan dan kewenangan TNI.
Hal itu, imbuh dia, satu nafas dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Menurut dia, kekhawatiran adanya potensi penyalahgunaan kewenangan dari TNI terkait dengan peran dan fungsinya dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme adalah bagian yang harus dipahami dan dijadikan penekanan pentingnya pengawasan dari masyarakat sipil.
Apalagi dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Pasal 43J juga telah diamanatkan tentang pembentukan Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme oleh DPR .
Baca: Anthony Smith Alami Cedera Serius Pasca Telan Kekalahan dari Glover Teixeira
Bisa saja Tim pengawas tersebut dibentuk sebagai Sub-komisi atau gabungan dari komisi 3 dan komisi I.
"Disini saya kira ada penekanan pengawasan atas kinerja dan peran TNI dalam konteks perannya dalam pemberantasan terorisme di luar fungsi utamanya dalam bidang pertahanan," jelasnya.
Sebagaimana diketahui, domain utama dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. adalah penegakan hukum, termasuk di dalamnya institusi Polri dan BNPT ada dalam pengawasan komisi 3.
Sedangkan TNI juga menjalankan peran lainnya dalam bentuk operasi militer selain perang (OMSP) dalam pemberantasan terorisme, yang mana mitranya di DPR adalah komisi 1.
Artinya dia tegaskan, secara normatif, bentuk pengawasan yang lebih efefktif dari publik dan parlemen bisa mengurangi kekuatiran tentang potensi yang ditimbulkan dalam draft Perpres sebagaimana yang dimaksudkan.
"Artinya, betapapun draft Perpres tersebut mengundang kekhawatiran dari koalisi masyarakat sipil, namun sebagai bagian dari amanat UU Anti Teror, maka hal tersebut harus segera diterbitkan agar dapat menjadi panduan operasional dari peran OMSP TNI dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme di Indonesia," ucapnya.
Baca: Polisi Izinkan Silahturahmi Keluarga Saat Lebaran, Tapi Dilarang Gelar Open House
Apalagi kata dia, keterlibatan TNI dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme ini dapat dilihat dalam tiga perspektif.
Pertama, sebagai bagian dari realitas keamanan pasca-perang dingin, dimana cara pandang keamanan menjadi meluas dan melebar yang mana menciptakan gap atau wilayah abu-abu yang harus segera dibagi habis agar mengurangi potensi konflik antar aktor keamanan.
Kedua, menjadi bagian dari efek gentar bagi pelaku teror dan kelompok radikal, karena tdk bisa lagi membenturkan institusi militer dan kepolisian terkait dengan peran dan fungsinya dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme.
"Hal yang membedakan keduanya adalah pada target ancaman dan pola operasi dari masing-masing peran yang melekat. Sejauh ini sebelum uu anti teror yang baru, pembagian perespon ancaman teror sdh dilakukan, misalnya pembebasan kapal dagang Sinar Kudus dari pelaku teror di Perairan Somalia misalnya," jelasnya.
Baca: BREAKING NEWS Update Corona 14 Mei 2020: Total 16.006 Kasus Positif, 3.518 Sembuh, 1.043 Meninggal
Ketiga, berbatas ruang dan waktu. Artinya dalam draft Perpres tersebut juga telah ditegaskan terkait batasan ruang dan waktu.
Hal ini temaktub dalam draft perpres tersebut.
"Meski masih ada kekhawatiran atas itu karena interpretasi atas isi dari draft Perpres tersebut, namun dengan penegasan adanya tim pengawas yang berlapis, saya kira draft tersebut layak untuk dipertimbangkan untuk disetujui menjadi perpres," jelasnya.
"Tak lain agar dapat menjadi landasan operasional tni terkait dengan pencegahan dan pemberantasan terorisme di Indonesia," lanjutnya.
Perpres TNI Berantas Terorisme Dianggap Tak Sesuai Mandat UU
Ketua SETARA Institute Hendardi menilai Rancangan Perpres tentang Tugas TNI menangani Aksi Terorisme sebagai ancaman supremasi hukum kontitusi negara.
Diketahui, draf R-Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme dikirim Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly ke DPR RI pada 4 Mei 2020. Pengiriman draf itu bertujuan untuk memperoleh persetujuan DPR.
"Cara penyelundupan hukum yang diadopsi dalam R-Perpres adalah mengancam supremasi konstitusi, mengikis integritas hukum nasional dan mengancam kebebasan sipil warga," kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (11/5/2020).
Hendardi menjelaskan, Rancangan Perpres tersebut seyogyanya sebagai mandat Pasal 43I ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Adapun rincian bunyi ketiga ayat tersebut adalah, ayat 1 menyebutkan tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi Terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.
Kemudian ayat 2, dalam mengatasi aksi Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia.
Lalu ayat 3 menyatakan, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Sebagai sebuah regulasi turunan dari Pasal 43I, kata dia, maka penyusunan R-Prespres tidak boleh melampaui ketentuan yang secara tegas diatur dalam Pasal 43I yang merupakan dasar hukum R-Perpres tersebut.
Menurutnya, yang seharusnya disusun oleh pemerintah dalam menerjemahkan mandat delegasi dari norma tersebut adalah menyusun kriteria dan skala ancaman.
Termasuk jenis-jenis terorisme, teritori tindak pidana terorisme, prosedur-prosedur pelibatan, hingga mekanisme perbantuan terhadap Polri.
"Di luar lingkup di atas, R-Perpres yang disusun adalah baseless alias tidak memiliki dasar hukum," kata dia.