TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah Presiden Joko Widodo menaikkan iuran BPJS Kesehatan menuai kontroversi.
Namun, pengamat intelijen senior Suhendra Hadikuntono minta publik jangan memojokkan Jokowi. Ia justru menilai para pembantunya yang salah memberikan masukan ke Jokowi.
"Bila memang harus ada yang disalahkan, salahkanlah para pembisiknya. Jangan pojokkan Presiden yang saat ini sedang fokus terhadap banyak hal," ujar Suhendra Hadikuntono di Jakarta, Kamis (14/5/2020).
Suhendra menilai, sebelum memutuskan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Presiden Jokowi bak menghadapi buah simalakama.
Jika dinaikkan akan membebani rakyat yang saat ini ekonominya terpuruk akibat pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19, tapi bila tidak dinaikkan maka keberlangsungan BPSJ Kesehatan terancam bahkan bisa bangkrut, sehingga rakyat pula yang akan menanggung akibatnya.
"Di tengah dilema itu, Presiden memang harus cepat mengambil sikap.Nah, saya melihat banyak pihak yang tidak punya kapasitas keilmuan, namun ingin berebut peran empati. Akibatnya fatal. Pak Jokowi itu punya komitmen dan jujur dalam membangun bangsa. Tolong jangan ditarik ke sana kemari," kata Suhendra.
"Drama ini seolah-olah mempertontonkan sisi kelemahan Presiden dalam hal ketatanegaraan. Selain itu, menunjukkan kelemahan komunikasi antara komponen eksekutif dan yudikatif," ujar Suhendra menambahkan.
Padahal, jelas Suhendra, solusinya sederhana, yakni Presiden Jokowi bisa mengundang Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Prof Dr Supandi untuk mendiskusikan hal ini.
"Saya jamin Prof Supandi bersedia, karena beliau tokoh hukum yang humanis, sederhana dan paling senior di lingkungan MA. Jadi, sekali lagi, jangan pojokkan Presiden Jokowi," tegasnya.
"Saya yakin jika kedua tokoh ini bertemu, maka selesai itu barang," tambahnya.
Tak lupa, Suhendra pun mengusulkan jalan tengah, yakni kenaikan iuran BPJS Kesehatan hanya menyangkut Kelas I dan Kelas II, sedangkan Kelas III tidak naik.
"Analogi sederhananya, yang dinaikkan Kelas I dan Kelas II. Untuk Kelas III, yang kerja hari ini untuk makan hari ini, tidak dinaikkan. Yang Kelas I dan Kelas II kalau dinaikkan masih bisa bernapas. Kalau Kelas III dinaikkan, langsung mati, enggak ada untuk dimakan," tandasnya.
Sebelumnya, melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang diteken pada Selasa (5/5/2020), Presiden Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Kenaikan mulai berlaku per 1 Juli 2020.
Rinciannya, iuran peserta mandiri Kelas I naik menjadi Rp 150.000 dari Rp 80.000, Kelas II naik menjadi Rp 100.000 dari Rp 51.000, dan Kelas III naik menjadi Rp 42.000 dari Rp 25.500.
Namun pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 untuk Kelas III sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
Kendati demikian, pada 2021 subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7000, sehingga yang harus dibayarkan peserta Kelas III adalah Rp 35.000.
Pada Oktober 2019, Presiden Jokowi juga menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres No 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Namun, Majelis Hakim Agung MA yang diketuai Prof Dr Supandi membatalkan kenaikan tersebut pada akhir Februari 2020 melalui putusan bernomor 7/P/HUM/2020.
Gugatan diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
Kini, KPCDI berencana kembali mengajukan gugatan uji materi terhadap aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu ke MA.
Alasan Iuran BPJS Naik
Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kembali naik tahun ini pada beberapa kelas.
Meski sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan MA Nomor 7P/HUM/2020, tapi Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pasal 34.
Dalam pasal itu diketahui bahwa kenaikan iuran terjadi pada Kelas I dan Kelas II mandiri. Hal itu akan dimulai pada Juli 2020.
Selain itu dalam pasal 34 juga dijelaskan mengenai perubahan subsidi yang diberikan pemerintah.
Perincian iuran BPJS Kesehatan
Berikut ini iuran BPJS Kesehatan peserta mandiri pada Juli-Desember 2020 berdasarkan Perpres Nomor 64 tahun 2020:
- Kelas 1 Rp 150.000
- Kelas 2 Rp 100.000
- Kelas 3 Rp 25.500 (Rp 42.000 dikurangi subsidi pemerintah Rp 16.500)
Kenaikan pada iuran kelas I hampir 100 persen. Sebelumnya, pada April-Juni 2020, Peserta Kelas I hanya membayar Rp 80.000.
Sementara itu untuk Peserta Kelas II sebelumnya hanya membayar Rp 51.000.
Alasannya
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf menjelaskan alasan kenaikan tersebut.
"Selama ini iuran yang dikumpulkan belum mencukupi pembiayaan program (BPJS)," kata Iqbal saat dihubungi Kompas.com, Rabu (13/5/2020).
Dia menjelaskan, pada dasarnya pembiayaan program JKN-KIS dari iuran yang dikumpulkan seluruh segmen peserta.
Peserta yang tidak mampu sudah dipastikan dijamin pembayaran iurannya oleh pemerintah melalui skema penerima bantuan iuran.
Dalam Perpres 64 Tahun 2020 pemerintah membantu iuran untuk Kelas III mandiri.
Iqbal melanjutkan, di tahun 2020 sejumlah 16.500 per jiwa per bulan dikalikan seluruh peserta mandiri kelas 3 yang kepesertaannya aktif.
Selain itu dia juga menyampaikan apa yang dibahas di RDP dengan komisi IX sudah ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan memberikan bantuan iuran Kelas III mandiri.
Gotong royong
Iqbal mengatakan salah satu prinsip program iuran BPJS adalah goyong royong.
Sehingga semua elemen yang terlibat harus bisa menutup pengeluaran bersama-sama.
Tak hanya gotong royong antar kelas, tapi juga ada ASN, TNI, Polri, Pekerja Penerima Upah, dan swasta.
Karena selama ini iuran yang dikumpulkan belum mencukupi pembiayaan program, maka terjadi penyesuaian besaran tarif.
"Presiden menetapkan seperti pada Perpres 64 Tahun 2020 dengan kenaikan yang cukup signifikan pada kelas I dan II," imbuhnya.
Menjaga kualitas
Sementara itu alasan kenaikan BPJS seperti disebutkan dalam Perpres 64 tahun 2020 adalah untuk menjaga kualitas dan kesinambungan JKN.
"Bahwa untuk menjaga kualitas dan kesinambungan program Jaminan Kesehatan, kebijakan pendanaan Jaminan Kesehatan termasuk kebijakan Iuran perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara proporsional dan berkeadilan serta dengan memperhatikan pertimbangan dan amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 7 P/HUM/2020," tulis Perpres 64 tahun 2020.
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com