News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Iuran BPJS

Kenaikan BPJS Dikhawatirkan Picu Gerakan Turun Kelas dan Sebabkan Tunggakan Lebih Masif

Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: bunga pradipta p
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petugas melayani warga di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Jakarta, Rabu (13/5/2020). Iuran BPJS Kesehatan bagi peserta mandiri resmi naik per 1 Juli 2020 mendatang, meski begitu peserta Kelas III masih mendapatkan subsidi sampai Desember 2020. Pemerintah menetapkan iuran BPJS Kesehatan kelas III sebesar Rp 42.000, meski begitu peserta kelas terendah ini tetap membayar Rp 25.500 karena mendapatkan subsidi. Sementara untuk kelas II dan III sebesar Rp 100.000 dan Rp 150.000.

TRIBUNNEWS.COM - Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang akan mulai diterapkan pada Juli 2020 mendatang menimbulkan banyak polemik.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Dr. Isharyanto, SH, M. Hum., mengkhawatirkan adanya gerakan turun kelas dari para peserta BPJS Kesehatan.

Selain itu, kenaikan ini juga dinilai dapat memicu tunggakan yang lebih masif.

Terlebih, bagi golongan mandiri yang saat ini tunggakannya mencapai 46 persen.

"Dikhawatirkan policy bar ini akan memicu gerakan turun kelas dari para anggota BPJS Kesehatan, misalnya dari kelas satu turun ke kelas dua, dan seterusnya," kata Isharyanto pada Tribunnews.com, Kamis (14/5/2020) siang.

"Juga akan memicu tunggakan yang lebih masif, khususnya dari golongan mandiri, yang saat ini tunggakannya mencapai 46 persen," tambahnya.

Baca: Iuran Naik, Kualitas Layanan BPJS Kesehatan Bakal Ditingkatkan

Menurut Dosen Fakultas Hukum UNS ini, jika dua fenomena itu benar terjadi dan menguat maka akan berdampak buruk pada finansial BPJS Kesehatan.

"Jika kedua fenomena itu menguat, maka bisa menggegoroti finansial BPJS Kesehatan secara keseluruhan," ungkapnya.

Isharyanto mengatakan, semestinya pemerintah dan manajemen BPJS Kesehatan lebih dulu melakukan langkah-langkah strategis sebelum memutuskan kenaikan ini.

Seperti halnya mengindentifikasi ulang data golongan Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Menurutnya, masih banyak peserta PBI yang salah sasaran.

"Identifikasi ulang data golongan PBI, sebab banyak peserta PBI yang salah sasaran," kata Isharyanto.

"Banyak orang mampu yang menjadi anggota PBI," sambungnya.

Momentum Hukum Tidak Tepat

Menurut Isharyanto, kenaikan iuran BPJS memang sudah menjadi kewenangan presiden.

Namun, ia menilai kenaikan kali ini momentum hukumnya tidak tepat. 

"Menaikkan iuran BPJS adalah kewenangan Presiden."

"Namun demikian, kenaikan kali ini momentum hukum tidak tepat," kata Isharyanto.

Baca: Jokowi Naikkan Lagi Iuran BPJS Kesehatan, Pengamat Ekonomi: Jadi Kontroversial Saat Pandemi

Hal ini lantaran, Isharyanto menambahkan, situasi di Indonesia sedang krisis akibat dampak pandemi Covid-19.

Selain itu, masyarakat pun banyak yang kehilangan pendapatan.

"Karena situasi sedang krisis karena pandemi Covid-19 dan ada kemungkinan banyak masyarakat yang kehilangan pendapatan atau mengalami penurunan ekonomi," terangnya.

Mengingat kenaikan iuran BPJS ini sempat dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada akhir Februari 2020 lalu, Isharyanto menilai pemerintah seakan-akan menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap putusan MA.

"Sulit menebak jalan pikiran pemerintah dalam kasus ini karena seakan-akan menampakkan ketidakputuhan kepada putusan MA sebelumnya," kata Dosen Fakultas Hukum UNS tersebut pada Tribunnews.com, Kamis (14/5/2020) siang.

Berpotensi Dipersoalkan Kembali di MA

Sebelumnya, kenaikan BPJS Kesehatan ini telah dibatalkan MA berdasarkan Perpres 75 Tahun 2019 melalui putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020.

Lantas, apakah keputusan pemerintah ini masih tetap bisa berjalan meskipun sebelumnya telah dibatalkan MA?

Isharyanto menerangkan, terdapat istilah doktrin presumptio dalam hukum.

Dalam hal ini, keputusan pemerintah akan dianggap sah dan berlaku sepanjang belum dicabut atau dibatalkan oleh pengadilan.

Kendati demikian, Isharyanto menilai, kenaikan BPJS yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 ini berpotensi dipersoalkan kembali di MA.

Baca: Iuran BPJS Kesehatan Dinaikkan Lagi, Pengamat Ekonomi: Kualitas Layanan Juga Perlu Diperbaiki

Menurutnya, hal ini akan membuat siklus kebijakan menjadi kacau dan minim kepastian hukum.

"Ada potensi Perpres baru yang menaikkan iuran itu dipersoalkan di MA kembali."

"Maka siklus kebijakan akan kacau dan minim kepastian hukum," ungkapnya.

Pemerintah Kembali Naikkan Iuran BPJS

Dalam Perpres 64 Tahun 2020, terdapat kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) yang diatur dalam Pasal 34.

Berikut rinciannya kenaikan iuran BPJS:

- Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.

- Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.

- Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.

Untuk peserta mandiri kelas III, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500, sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.

Namun, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, pada 2021 mendatang.

Dengan demikan, yang harus dibayarkan peserta mandiri kelas III adalah Rp 35.000.

Sebelumnya, kenaikan BPJS Kesehatan ini telah dibatalkan MA berdasarkan Perpres 75 Tahun 2019 melalui putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020.

Namun, pemerintah mengklaim bahwa diterbitkannya perpres baru, yakni Perpres 64 Tahun 2020 sebagai revisi Perpres 75 Tahun 2019 tersebut adalah untuk lebih memberikan perlindungan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Baca: Putusan MA yang Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Final dan Mengikat

"Ini bukan jangka pendek, tapi jangka panjang supaya ada kesinambungan dan kepastian," kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, seperti yang dikutip dari Kompas.com, Kamis (14/5/2020).

Pemerintah juga dikatakannya telah melakukan dengan melakukan perbaikan pelayanan kesehatan sesuai ketentuan perundangan.

Hal tersebut dilakukan untuk memberikan jaminan kesehatan yang lebih baik kepada seluruh rakyat.

(Tribunnews.com/Widyadewi Metta, Kompas.com/Deti Mega Purnamasari)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini