TRIBUNNEWS.COM - Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr Agus Riewanto SH SAg MAg, menanggapi naiknya iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi.
Agus menuturkan, keputusan untuk menaikkan iuran BPJS di masa pandemi adalah keputusan yang terburu-buru.
"Karena di masa ini, pemerintah tidak sensitif, harusnya sabar setelah pandemi selesai," ujar Agus kepada Tribunnews, Rabu (13/5/2020).
Terkait keputusan yang mendadak ini, Agus menyarankan, masyarakat yang keberatan atas kenaikan iuran, bisa mengajukan materi kembali ke Mahkamah Agung (MA).
"Kalau ada masyarakat yang keberatan atas hadirnya Perpres ini (Perpres Nomor 64 Tahun 2020, red), bisa saja mengajukan materi kembali ke Mahkamah Agung," tutur Agus.
Baca: Jokowi Naikkan Iuran BPJS di Tengah Pandemi, Ahli: Lebih Baik Perbaiki Data, Agar Tepat Sasaran
Pasalnya, peraturan presiden dalam hierarki peraturan perundang-undangan masih dibawah UUD 1945.
Oleh karena itu, Agus mengatakan, jika ada masyarakat yang keberatan, kebijakan presiden bisa dibatalkan kembali.
"Bisa dibatalkan kembali, karena peraturan presiden dalam hierarki perundang-undangan itu dibawah UUD 1945," jelas Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS itu.
Agus mengatakan, bilamana ada peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945, maka peraturan tersebut bisa dikaji kembali.
Termasuk peraturan kenaikkan iuran BPJS Kesehatan yang diatur dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ini.
Diketahui, Presiden Jokowi sempat menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan pada 2019 lalu.
Ia menaikkan iuran tersebut melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Namun, pada akhir Februari 2020, Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan tersebut.
Agus menilai, langkah Presiden Jokowi menaikkan iuran setelah dibatalkan MA, seakan tidak mempedulikan putusan MA.
Baca: Jokowi Naikkan Lagi Iuran BPJS Setelah Dibatalkan, Ahli: Pemerintah Seakan Tidak Peduli Putusan MA