TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Kebijakan Publik Agus Pambagio menyayangkan, perhatian pemerintah terhadap stunting dan gizi buruk yang teralihkan akibat Covid 19.
Padahal stunting ini dampaknya 30 tahun mendatang.
"Saat dunia makin kompetitif, anak-anak yang hari ini tidak cukup gizinya akan semakin terbelakang,” ujar Agus saat diskusi media melalui zoom meeting, Selasa (19/5/2020)\.
Menurut dia, penanganan stunting dan gizi buruk seharusnya tidak lantas terhenti akibat pandemi.
Sebab dapat tetap dilakukan melalui pemberian makanan tambahan (PMT) dan program bantuan pangan yang lebih tepat sasaran.
Tepat sasaran yang dimaksud Agus bukan hanya penerima, namun juga komposisi isinya harus memenuhi kebutuhan gizi anak dan keluarga.
Baca: Pandemi Covid-19 Dinilai Menghambat Target Penurunan Angka Stunting Nasional
“Sekarang di dalam bantuan pangan atau sembako, ada produk tinggi kandungan gula seperti susu kental manis," kata Agus.
Menurut dia, pemberian susu kental manis ke masyarakat apalagi nanti jadi konsumsi anak-anak harus dihindari karena tidak baik untuk pertumbuhan.
Dokter anak Dr. dr. Tubagus Rachmat Sentika, Sp.A, MARS mengakui, pemberian sembako berisi berbagai produk instan, termasuk susu kental manis masih sering terjadi.
“Sekilas, bantuan ini terlihat meringankan masyarakat namun bila diperhatikan, bantuan untuk masyarakat dengan komposisi tersebut belum tentu meringankan beban keluarga," katanya.
Sebagai seorang dokter anak, Tubagus mengaku prihatin dengan adanya kental manis di dalam bansos, karbohidratnya lebih dari 46%.
Baca: Peringatan Dini BMKG Rabu 20 Mei 2020 di Lombok: Beberapa Wilayah Waspada Hujan Lebat disertai Petir
"Ini dilarang dan nggak boleh untuk anak dibawah 18 tahun,” ujar dokter anak yang akrab disapa Rachmat ini.
Dokter Rachmat turut menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ini.
“Pemerintah mengurangi pelayanan kesehatan dasar seperti posyandu, puskesmas dan poliklinik yang tentu saja mengurangi program-program upaya kesehatan masyarakat (UKM)," katanya.
Seharusnya UKM ini seharusnya nggak boleh berhenti karena menyangkut program prioritas, salah satunya adalah stunting.
Bayangkan, sudah ada 8 juta orang stunting, dan angka ini yang akan kita hadapi usai pandemi.
"Refocussing anggaran akibat pandemi seharusnya diluar program-program prioritas pemerintah,” jelasnya.
dr. RR. Dhian Probhoyekti SKM, MA, Direktur Gizi Masyarakat,Kemenkes RI mengatakan upaya penanganan stunting tetap dilakukan dengan protokol Covid 19.
Baca: Vaksin Covid-19 Belum Ditemukan, Achmad Yurianto Ajak Masyarakat Adaptasi dengan Hidup New Normal
Sosialisasi dan sebaran informasi melalui media sosial tetap dilakukan dan monitoring kesehatan dan gizi anak secara virtual.
"Selama ini kami juga melakukan edukasi kepada masyarakat tentang pesan gizi seimbang yaitu pangan manis asin dan berlemak, termasuk mengenai bantuan sosial kalau ada yang berisi susu kental manis ya bukan buat balita, bukan juga untuk minuman tunggal,”jelas Dhian.
Anggota Komisi IV DPR RI Luluk Nur Hamidah menyayangkan adanya usulan Kementerian Pertanian untuk memangkas anggaran program kegiatan di daerah rawan pangan dan stunting.
Pos anggaran itu sebelumnya terdampak pemotongan dalam rangka refocusing anggaran Pemerintah untuk penanganan Covid-19.
Ia sangat menyesalkan adanya pemotongan anggaran di pos ini, karena nanti implikasinya akan jadi kacau balau.
"Anggaran pengentasan daerah rawan pangan sebelumnya sudah kecil, ini malah dipotong lagi lebih kecil," ujar Luluk .
Politisi PKB ini mengatakan pemotongan anggaran tersebut dikhawatirkan berdampak terhadap ancaman peningkatan jumlah stunting pada masa mendatang.
Padahal, dalam pidato Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 lalu, Pemerintah berjanji akan memprioritaskan pengentasan stunting dalam lima tahun mendatang.
Stunting bukan hanya masalah kesehatan, bukan hanya domainnya masalah kementerian kesehatan, ini melibatkan semua.
"Karena apa? Salah satu indikator terkena stunting itu kan karena adanya gizi yang sangat buruk. Adnya gizi yang kronis, gizi yang buruk dan itu juga terkait akses pangan. Karena ada keterbatasan akses pangan,“ kata Luluk.