News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kekerasan Terhadap Wartawan

AMSI: Sengketa Pemberitaan Diselesaikan Melalui Dewan Pers, Bukan Lewat Pengerahan Buzzer di Medsos

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut berikan keterangan mengenai kegiata rapat kerja nasional di Perpustakaan Nasional, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2019). TRIBUNNEWS.COM/LENDY RAMADHAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Media Siber Indonesia mengimbau warga yang memiliki sengketa pemberitaan dengan media massa untuk menyelesaikannya melalui mekanisme UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut dalam rilisnya menyampaikan, setiap pengaduan terhadap media bisa disampaikan pada redaksi untuk memperoleh hak jawab dan koreksi.

Jika dinilai belum memuaskan, warga bisa mengadu ke Dewan Pers untuk dicarikan solusi melalui mediasi.

Sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, Dewan Pers adalah lembaga negara yang berhak memberikan penilaian atas ada tidaknya pelanggaran kode etik jurnalistik serta memberikan sanksi pada media massa.

Baca: Pesawat Listrik Terbesar di Dunia Diterbangkan untuk Pertama Kalinya, Intip Keunikannya

Imbauan ini sekaligus menanggapi kasus kekerasan terhadap wartawan Detikcom yang menulis berita terkait Presiden Joko Widodo.

Korban mengalami intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh.

Kasus ini bermula ketika Detikcom menurunkan berita tentang rencana Presiden Joko Widodo membuka mal di Bekasi, Jawa Barat, di tengah pandemi Covid-19.

Informasi itu berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi.

Belakangan berita itu dikoreksi karena ada ralat dari Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyebut bahwa Jokowi hanya meninjau sarana publik dalam rangka persiapan new normal setelah PSBB.  

Setelah koreksi itu dipublikasikan, kekerasan terhadap jurnalis Detikcom mulai terjadi.

Identitas pribadi jurnalis itu dibongkar dan dipublikasikan di media sosial, termasuk nomor telepon dan alamat rumahnya.

Jejak digitalnya diumbar dan dicari-cari kesalahannya.

Baca: Sampel Tak Tunjukkan Jejak Virus Corona, Pakar China Sebut Pasar Hewan Wuhan sebagai Korban

Dia juga menerima ancaman pembunuhan melalui pesan WhatsApp.

Serangan serupa ditujukan pada redaksi media Detikcom. 

Menurut Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut, hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

"Pers tentu tidak alpa dari kesalahan. UU Pers dibuat untuk memastikan koreksi bisa dilakukan, dengan tetap menjunjung perlindungan terhadap kebebasan pers. Kesalahan jurnalistik tidak boleh berujung pada kekerasan atau pemidanaan terhadap wartawan," kata dia.

Sejumlah awak media gelar unjuk rasa di depan Pendopo Kabupaten Banyumas, Selasa (10/10). Mereka tuntut aparat yang melakukan kekerasan terhadap wartawan ditindak tegas (Tribun Jateng/Khoirul Muzaki)

Dengan kebebasan pers yang kokoh, publik diuntungkan oleh adanya mekanisme check and balances untuk memastikan akuntabilitas pemerintah melayani kepentingan warga.

"Menyerang pers dan mengintimidasi wartawan hanya akan mencederai ekosistem informasi yang kredibel dan bebas, serta merusak demokrasi," ujarnya. 

Terkait hal itu, Pengurus Pusat AMSI menyatakan sikap sebagai berikut:

Baca: Dapat Barang Nagita Slavina yang Mahal, Pengasuh Rafathar Kena Semprot Raffi Ahmad, Gak Boleh

1. Mendesak pejabat pemerintah atau warga negara yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa untuk menggunakan mekanisme penyelesaian yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Caranya dengan mengirimkan permintaan hak jawab maupun koreksi ke media terkait, lalu jika tidak mendapat respon yang diharapkan, baru mengadukan masalahnya ke Dewan Pers.

Sejak era reformasi 1998, inilah mekanisme yang telah disepakati secara hukum untuk menyelesaikan sengketa pers tanpa mengganggu independensi media maupun kebebasan pers. 

2. Mengkritik keras perisakan dan intimidasi siber (terutama praktek doxing atau membuka informasi pribadi) yang dilakukan para buzzer maupun warganet yang berpotensi merusak kebebasan pers dan demokrasi di negeri ini.

Tanpa pers yang bebas dan jurnalisme yang berkualitas, informasi yang beredar di masyarakat akan mudah disetir oleh pihak-pihak tertentu dengan berbagai kepentingan politik maupun ekonomi. 

Baca: Tantang Tiongkok, AS Kembali Kirim Kapal Perusaknya ke Laut China Selatan

3. Meminta aparat penegak hukum segera mengusut dugaan pelanggaran pidana berupa kekerasan siber (perisakan online dan doxing), maupun ancaman pembunuhan terhadap jurnalis, hingga pelakunya diadili di pengadilan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini