Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Warga Kalimantan meminta Undang-Undang Pengelolaan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dibatalkan demi keselamatan rakyat.
Ria Anjani, dari Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Utara menilai, UU Minerba merupakan produk hukum yang tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dan mengenyampingkan kebutuhan masyarakat.
Ia pun menolak adanya penambahan izin penambangan baru serta mendesak agar kasus-kasus hukum di Kalimantan Utara dievaluasi.
“Empat kabupaten di Kalimantan Utara ditelanjangi. Di kabupaten Malinau, PDAM menghentikan distribusi air karena air tidak bisa disaring," ujar Ria dalam diskusi virtual, Jakarta, Sabtu (30/5/2020).
Baca: Demokrat Putuskan Dukung Denny Indrayana Sebagai Cagub Kalimantan Selatan
Selain itu, kata Ria, di Kabupaten Tana Tidung, perusahaan tambang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin dan Kabupaten Nunukan dikapling oleh enam perusahaan tambang yang merugikan masyatakat.
"Serta izin di Kabupaten Nunukan yang carut marut," ucap Ria.
Diketahui, Kalimantan merupakan salah satu wilayah tambang terluas di Indonesia yang banyak digarap oleh perusahaan-perusahaan besar.
Sebut saja, PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia milik Aburizal Bakrie, PT Indominco Mandiri milik PT Indo Tambangraya Megah yang sahamnya dikuasai Banpu Minerals Singapore Private Limited, dan PT Adaro Indonesia milik PT Adaro Energy yang digawangi Garibaldi Thohir, kakak dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
Baca: Senator Kirim Nota Protes kepada DPR dan Pemerintah Atas Pengesahan UU Minerba
Namun, perusahaan-perusahaan yang mengklaim memiliki tata kelola perusahaan yang baik tersebut justru menjadi sumber kerusakan yang terjadi di Kalimantan.
Berdasarkan keterangan Taufik Iskandar, perwakilan masyarakat Desa Santan, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, kerusakan akibat tindakan semena-mena penambangan oleh Indominco Mandiri sangat kompleks.
Limbah yang dibuang ke Sungai Santan telah menyebabkan polusi air yang sangat parah, sehingga masyarakat tidak lagi bisa memperoleh air bersih secara gratis.
Kini, mereka harus merogoh Rp 200 ribu Rp 400 ribu untuk memenuhi kebutuhan air bersih.