TRIBUNNEWS.COM - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD turut menanggapi ancaman teror dalam diskusi yang akan diadakan di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Mahfud menegaskan Pemerintah tidak melarang kegiatan diskusi tersebut.
Ia justru mempersilahkan diskusi melalui daring itu berlangsung karena merupakan pembahasan ilmiah.
Mahfud pun menyayangkan diskusi tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya teror yang dialami oleh sejumlah pihak penyelenggara.
"Kami sayangkan juga itu (ancaman teror, red)."
"UGM mau ada seminar tapi tidak jadi karena ada isu makar, padahal engga juga," ujar Mahfud dalam video conference yang dikutip Tribunnews dari Youtube Kompas TV.
Baca: Jawab Kritik New Normal Hanya Kedepankan Aspek Ekonomi, Mahfud MD: Kesehatan Nomor Satu
Mahfud pun mengatakan, ia mengenal dengan sosok pembicara diskusi tersebut yang tidak memiliki gelagat aneh untuk menyerukan makar.
"Di UGM yang jadi pembicara itu dulu saya promotornya ketika doktor, orangnya tidak aneh-aneh juga, ahli hukum tata negara," jelas Mahfud.
Mahfud juga mengatakan, diskusi soal pemecatan presiden itu boleh saja dilakukan.
Ia menerangkan pemecatan presiden bisa dilakukan asal memenuhi syarat, jadi tidak perlu untuk dikaitkan dengan persoalan Covid-19.
Baca: Kata Mahfud MD Soal Aksi Teror yang Diterima Guru Besar Hukum Tata Negara UII Nimatul Huda
Mahfud pun membeberkan lima syarat yang bisa memberhentikan presiden.
Di antaranya, melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela.
Atas alasan tersebut, maka presiden bisa diberhentikan jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.
"Sejauh tidak memenuhi lima unsur tersebut, maka presiden tidak bisa diberhentikan di tengah jalan," jelasnya.
Mahfud juga menjelaskan ke aparat untuk tidak takut dengan diskusi tersebut.
Baca: Mahfud MD Titip Natuna ke Laksamana Yudo dan Minta KSAU Jaga Wilayah Udara di Perbatasan
Untuk itu, dirinya menegaskan kepada aparat agar tidak takut dengan diskusi tersebut.
"Saya katakan ke aparat tidak perlu takut itu ilmiah, biarkan diskusi, kalau ada makar maka akan ketahuan disitu," ungkapnya.
Mahfud pun menyayangkan pihak-pihak yang menuding diskusi tersebut tidak terlaksana karena tindakan dari pemerintah.
Padahal, setelah ia mengonfirmasi, aparat dan pihak UGM mengatakan tidak melarang diskusi tersebut.
Selain itu, terkait teror yang dialami, pihaknya juga sudah mengonfirmasi teror tersebut diduga dilakukan oleh masyarakat sipil itu sendiri.
Baca: Pimpinan MPR RI Mengutuk Keras Teror terhadap Wartawan, Panitia dan Pembicara Diskusi UGM
Sebelumnya diberitakan, Presiden Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Aditya Halimawan memutuskan untuk membatalkan acara diskusinya.
Awalnya, acara diskusi yang digelar secara daring tersebut dilakukan pada Jumat (29/5/2020) pukul 14.00 WIB.
Namun, diskusi tersebut terpaksa dibatalkan setelah pihaknya mendapat ancaman.
Alasannya, tema diskusi bertajuk Meluruskan Persoalan Pemeberhentian Presiden Ditinjau dari Siste, Ketatanegaraan itu dianggap politis oleh sejumlah pihak.
"Iya diskusinya kami batalkan, ini kesepakatan dari pembicara dan penyelenggara, karena memang kondisinya semakin tidak kondusif."
"Ya sebelumnya kami mendapat tindakan semacam peretasan dan ancaman juga," kata Aditia, seperti dikutip Tribunnews.com dari Kompas.com.
Aditia menegaskan, tema dan kegiatan yang dilakukan tidak berkaitan dengan aksi makar atau gerakan politis lainnya.
Menurut dia, kegiatan yang dilakukan murni bersifat akademis.
"Seperti klarifikasi yang sudah kami sampaikan, bahwa kami bersifat akademis, tidak berkaitan oleh politik manapun atau agenda politik manapun," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Maliana, Kompas.com/Wijaya Kusuma)