Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan menyatakan Presiden Joko Widodo dan Menteri Komunikasi dan Informatika melakukan perbuatan melawan hukum terkait pemblokiran atau pelambatan koneksi internet di Papua pada 2019.
Menanggapi hal itu, anggota DPR RI Fraksi PKS Netty Prasetiyani menilai pemblokiran internet di Papua sangat merugikan masyarakat. Bukan hanya bagi masyarakat Papua tapi seluruh rakyat Indonesia.
Menurutnya, selain menghambat aktivitas keseharian masyarakat Papua, pemblokiran itu juga menutup akses keluar-masuk informasi di Papua, sehingga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Pembatasan internet itu terjadi saat situasi di Papua bergejolak yang ditunjukkan dengan maraknya aksi kerusuhan.
Baca: Surat PHK Dikirim Tengah Malam, 181 Pilot Kontrak Garuda Indonesia Kehilangan Pekerjaan
"Kabarnya juga para jurnalis tidak bisa mengirim berita yang akurat saat kericuhan itu terjadi, bukankah ini melanggar kebebasan pers yang sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers?," kata Netty melalui keterangannya, Kamis (4/6/2020).
Baca: Lion Air Group Kembali Berhenti Terbang, Biaya Tes PCR Lebih Mahal dari Tiket Pesawat
Pemerintah beralasan pemblokiran itu untuk menutup penyebaran informasi hoaks yang dapat memperkeruh suasana di Papua.
Namun, Netty mengatakan pada sisi lain justru pemblokiran itu membuat kita hanya tahu dari versi pemerintah saja.
Baca: Terkuak Setahun Pasca Kejadian, Pembunuh Janda Empat Anak Ini Ternyata Pasangan Suami Istri
Seharusnya, lanjut Netty, pemerintah kalau takut hoaks, bisa menghalau dengan memberikan informasi yang benar, bukan malah memblokir.
"Untuk memberikan informasi yang benar, saya kira pemerintah punya semua sumber daya dan infrastrukturnya, yang nomor satu mungkin. Masak kalah dan takut dengan informasi hoaks yang disebar oleh hanya satu dua orang?," ujar Netty.
Baca: Token Listrik Rp 1 Juta Habis dalam 2 Hari, Gigi Omeli Petugas PLN: Kesel, di Sini Jepret Mulu . . .
Selain itu, menurut Anggota Komisi IX DOR RI ini, sejak awal pemblokiran itu maladministrasi.
Tidak ada penjelasan dari pemerintah mengenai kedaruratan dan situasi mendesak sehingga pemerintah harus.
Baca: Rusuh Menjadi-jadi, Polisi Tembak Mati Warga Kulit Hitam Pemilik Restoran di Kentucky
Penyampaian pemblokiran itu dinilai tidak cukup hanya dengan melalui siaran pers.
Karena itu, Netty meminta pemerintah untuk menjalankan perintah putusan PTUN.
"Pak Presiden segeralah meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia, karena ini bukan hanya merugikan orang Papua tapi juga kita semua," ucap Netty.
Baca: Terkuak! Trio Mantan Petinggi Jiwasraya Terima Mobil Mewah dan Pelesir ke Luar Negeri
Sebelumnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan Presiden Joko Widodo dan Menteri Komunikasi dan Informatika melakukan perbuatan melawan hukum terkait pemblokiran atau pelambatan koneksi internet di Papua pada 2019.
Sidang pembacaan putusan digelar di PTUN Jakarta, pada Rabu (3/6/2020).
"Mengabulkan gugatan para tergugat untuk seluruhnya. Menyatakan perbuatan para tergugat adalah perbuatan melanggar hukum oleh badan dan atau pemerintahan," kata Hakim PTUN, saat membacakan putusan, Rabu (3/6/2020).
Kebebasan internet warga Papua dan Papua Barat dibatasi dengan dalih meredam hoaks, sejak 19 Agustus 2019.
Semula, pemerintah melakukan throttling atau pelambatan akses/bandwidth di beberapa daerah. Tindakan itu dikabarkan hanya melalui siaran pers.
Pelambatan akses internet berlanjut hingga pemutusan akses internet secara menyeluruh di Papua dan Papua Barat, pada 21 Agustus 2019.
Kebijakan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019 digugat SAFEnet Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan terdaftar di PTUN dengan nomor 230/6/2019/PTUN-Jakarta.
Sebagai tergugat Menkominfo dan Presiden Joko Widodo
Pada putusan itu, hakim memerintahkan pemerintah untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.
"Menghukum para tergugat menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan dan/atau tindakan pelambatan dan/atau pemutusan akses internet di seluruh wilayah Indonesia," tuturnya.
Selain itu, pemerintah diwajibkan memuat permintaan maaf atas kebijakan tersebut secara terbuka di tiga media massa, enam stasiun televisi nasional, tiga stasiun radio selama sepekan. Ini wajib dilakukan maksimal sebulan setelah putusan.
Permintaan maaf kepada seluruh pekerja pers dan enam stasiun televisi, Metro TV, RCTI, SCTV, TV ONE, TRANS TV dan Kompas TV, maksimal satu bulan setelah putusan. Kemudian tiga stasiun radio, Elshinta, KBR, dan RRI selama satu minggu.
"Dengan redaksi sebagai berikut, Kami Pemerintah Republik Indonesia dengan ini menyatakan: 'Meminta Maaf kepada Seluruh Pekerja Pers dan Warga Negara Indonesia atas tindakan Kami yang tidak profesional dalam melakukan pemblokiran layanan data untuk wilayah Papua dan Papua Barat," bunyi amar putusan.
Apabila, pemerintah melakukan upaya hukum banding, hakim menyebut vonis ini tetap dapat dilaksanakan.
Menyatakan putusan atas gugatan ini dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada upaya hukum.
Untuk diketahui pemerintah memblokir internet di Papua dan papua Barat saat terjadi kerusuhan di Manokwari, Papua 2019 lalu. Dua kali pemerintah membatasi akses internet di wilayah paling Timur Indonesia tersebut . Pertama yakni pembatasan akses pada 19 Agustus 2019 dan pemblokiran penuh pada 21 Agustus 2019.
Berdasarkan keterangan Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu saat itu, pemblokiran dilakukan setelah pihak Kementerian Kominfo berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi terkait.
"Kementerian Komunikasi dan Informatika RI memutuskan untuk melakukan pemblokiran sementara layanan data telekomunikasi, mulai Rabu (21/8) hingga suasana tanah Papua kembali kondusif dan normal," kata Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu, (21/8/2019).
Adapun tergugat kasus pemblokiran akses layan internet tersebut yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menkominfo. Pada saat itu Menkominfo masih dijabat Rudiantara sebelum kemudian diganti Johnny Plate Oktober 2019.