TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratman, mengungkapkan pelanggaran terhadap kebebasan akademik mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir.
Hal ini berdasarkan hasil riset terkait kebebasan akademik yang dilakukan mulai dari tahun 2015-2018.
"2015, saya mengerjakan riset berfokus kebebasan akademik. Saya menelusuri kasus dan mengkomplikasi. Coba saya kualifikasi. 2018, saya melakukan riset. Riset fokus pada kebebasan ekspresi," ujarnya, pada sesi diskusi Ada Apa Dengan Kebebasan Berbicara?, yang diselenggarakan Pusat Kajian Tajdid Institute, Selasa (9/6/2020).
Selama tiga tahun melakukan riset, dia mendapatkan kesimpulan serangan terhadap kebebasan berbicara di level universitas menunjukkan angka yang cukup tinggi.
Baca: Insiden Teror Terhadap Narasumber dan Panitia Diskusi Akademik Rugikan Pemerintah
Upaya serangan kebebasan berbicara itu dilakukan berbagai macam cara.
"Mahasiswa ataupun dosen mau bikin acara ada pembatalan, ada pembubaran. Bahkan ada intimidasi selama proses maupun setelah diskusi. Ini berlanjut sampai 2018," kata dia.
Dia melihat cara-cara penyerangan kebebasan akademik itu merupakan bagian dari melegitimasi otoritarianisme.
"Menguat kembali otoriter. Menunjukkan karakter negara otoriter. Cara membungkam masih ada legasi otoritarianisme. Pemilu sistem politik kartel memberi jalan kuat bagi tampilnya otoritarianisme dalam model baru," ujarnya.
Belakangan serangan terhadap kebebasan akademik kembali dilakukan. Terakhir, upaya ancaman disertai teror kepada panitia serta narasumber diskusi mahasiswa Constitusional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.
Dia menambahkan apa yang terjadi merupakan sesuatu yang sama seperti apa yang pernah ditelitinya.
"Hanya mengulang tiga tahun saya melakukan riset," tambahnya.
Untuk diketahui, ancaman disertai teror dialami panitia serta narasumber diskusi mahasiswa Constitusional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.
Insiden itu berawal dari diskusi mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Constitutional Law Society (CLS). Diskusi itu bertema 'Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.
Namun, diskusi yang semula dijadwalkan diselenggarakan pada Jumat 29 Mei itu dibatalkan. Pembatalan itu karena dari pembicara hingga moderator mendapat ancaman dari sejumlah orang.
Berbagai teror dan ancaman dialami pembicara, moderator, narahubung, serta ketua komunitas 'Constitutional Law Society' (CLS). Teror mulai dari pengiriman pemesanan ojek online ke kediaman, teks ancaman pembunuhan, telepon, hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka.
Akhirnya, mahasiswa pelakasana kegiatan mengubah judul di dalam poster, sekaligus mengunggah poster dengan judul yang telah dirubah menjadi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.
Klarifikasi tersebut disertai permohonan maaf dan klarifikasi maksud dan tujuan kegiatan di dalam akun Instagram "Constitutional Law Society" (CLS)(https://www.instagram.com/p/CAuzTSqFZzu/).