Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Estu Dyah Arifianti, menyoroti upaya Jaksa Penuntut Umum menuntut dua terdakwa penganiayaan penyidik KPK, Novel Baswedan, satu tahun penjara.
Pada saat penuntutan, Jaksa menyebut Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat seperti yang diatur dan diancam pidana Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sesuai dakwaan subsider.
Baca: Mahfud MD: RUU HIP Datangnya dari DPR, Bukan Pemerintah
Pada pertimbangan tuntutan, Jaksa mengatakan terdakwa tidak pernah memikirkan melakukan tindak penganiayaan berat, tetapi ingin memberi pelajaran namun berakibat di luar dugaan.
Upaya memberi pelajaran itu dilakukan karena Novel Baswedan dinilai telah mengkhianati institusi Polri.
“Bisa dibilang pelaku melakukan penyiraman air keras dalam kondisi, dia memang menginginkan akibat itu terjadi,” kata Estu dalam sesi diskusi “Objektivitas Tuntutan Jaksa Dalam Kasus Penyerangan Novel Baswedan, Sabtu (13/6/2020).
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu menjelaskan, pada umumnya penganiayaan merupakan suatu perbuatan yang disengaja.
Meskipun, kata dia, di Indonesia ada penganiayaan yang dilakukan tidak disengaja.
“Dalam konsep hukum pidana yang dilakukan terdakwa masuk penganiayaan. Penganiayaan itu dilakukan sengaja,” kata dia.
Jika, merujuk dari perkara penyiraman air keras kepada Novel Baswedan, menurut dia, sejak awal kedua pelaku sudah mempunyai niat dan merencanakan untuk melukai berat mantan anggota Polri tersebut.
Dia menilai niat jahat pelaku untuk melakukan penyiraman sangat mudah untuk dibuktikan.
Kedua pelaku, dia melanjutkan, melakukan pengamatan, menyiapkan air keras, dan menentukan hari dan waktu untuk melakukan penyiraman.
“Tindakan menyiram itu disengaja dan membutuhkan waktu persiapan dari pelaku untuk mempersiapkan air keras. Entah dalam bentuk larutan, spray, cairan,” ujarnya.
Perbuatan penganiayaan itu mengakibatkan Novel mengalami luka berat.
Hal ini sesuai VISUM ET REPERTUM Nomor: 03/VER/RSMKKG/IV/2017 tertanggal 24 April 2017
Yaitu mengalami penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan, kerusakan pada selaput bening (kornea) mata kanan dan kiri yang berpotensi menyebabkan kebutaan atau hilangnya panca indera penglihatan.
“Jika, akibat itu muncul masuk ke luka berat, maka orang yang mempunyai niatan luka berat itu melakukan penganiayaan berat," katanya.
"Penganiayaan berat itu dikaitkan dengan akibat dari luka berat yang dilakukan. Jadi, sejak awal niatan melakukan atau melukai berat,” tuturnya.
Merujuk pada Pasal 353 ayat 1 penganiayaan dengan direncanakan terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 353 ayat 2 bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidna penjara paling lama tujuh tahun.
Baca: Bantah 3 Kali Tolak Ajakan Damai Sebelum Putusan MA, Jordi Onsu Beri Solusi demi Bisnis Bertahan
Pasal 353 ayat 3 bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
“Di Pasal 353 menyebutkan penganiayaan dengan rencana ancaman pidana 4 tahun. Mengakibatkan luka berat paling lama 7 tahun. Ini (seharusnya,-red) menjadi dasar jaksa mengenakan (tuntutan,-red) kepada terdakwa. Ini tidak sesuai rasa keadilan,” tambahnya.