Laporan wartawan Tribunnews.com, Mafani Fidesya Hutauruk
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengabulkan permohonan perlindungan kepada 14 (empat belas) Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang mengalami perbudakan modern di kapal penangkap ikan Longxing 629 berbendera Tiongkok.
Keputusan diambil Rapat Paripurna Pimpinan (RPP) LPSK yang diselenggarakan pada 8 Juni 2020.
Para korban mendapatkan layanan program Pemenuhan Hak Prosedural, berupa pendampingan pada saat memberikan keterangan dalam setiap proses peradilan pidana serta fasilitasi penilaian restitusi (ganti rugi dari pelaku).
Baca: LPSK Kabulkan Permohonan Perlindungan Terhadap 14 ABK Korban Praktik Perbudakan di Kapal Ikan China
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan, LPSK telah beri perhatian sejak kasus ini mencuat ke publik serta intens membangun komunikasi dengan Bareskrim Polri dan Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI.
Baca: Kasus Perdagangan Orang Bermodus ABK Marak, LPSK: Kami Telah Beri Perlindungan 228 Orang Sejak 2013
“Sejak awal LPSK menduga kasus ini terkait perdagangan orang” ujar Edwin dalam konferensi pers LPSK, di Jakarta, Selasa (16/6/2020).
Edwin menjelaskan bahwa LPSK terlibat dalam proses penjemputan para ABK ini di bandara Soekarno-Hatta, serta melakukan pendalaman informasi kepada 14 korban ABK tersebut di tempat penampungan milik Kementerian Sosial di Jakarta.
“Seluruh korban langsung mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK setelah Bareskrim menetapkan 3 (tiga) orang agen pengirim ABK sebagai tersangka TPPO” kata Edwin
Dari para korban diperoleh keterangan bahwa mereka awalnya dijanjikan sebagai ABK kapal penangkapan ikan Korea Selatan, mendapatkan gaji dan bonus sesuai perjanjian kerja dan dipekerjakan secara legal.
Baca: LPSK akan Proaktif dalam Kasus Dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang WNI ABK Long Xin
Namun prakteknya jauh panggang dari api. Besaran gaji dan bonus yang mereka terima tidak sesuai, mendapatkan perlakuan buruk dalam bekerja, kerja overtime, fasilitas medis yang sangat buruk, hingga konsumsi makanan dan minuman yang tidak layak.
Perlakuan yang mereka dapat berbeda dengan ABK lainnya di kapal tersebut.
14 ABK ini diantaranya berasal dari Bekasi - Jabar (2), Brebes - Jawa Tengah (1), Tegal -Jawa Tengah (1), Bintan dan Natuna - Kepulauan Riau (3), Minahasa - Sulawesi Utara (2), Barru - Sulawesi Selatan (3), Halmahera - Maluku Utara (1), dan Masohi - Maluku Tengah (1).
12 diantaranya lulusan SMA atau sederajat, 1 lulusan SMP dan 1 lulusan SD. Usia mereka berkisar 20-22 tahun, 3 lainnya masing-masing berusia usia 28, 30 dan 35 tahun.
Mereka rata-rata dijanjikan gaji sebesar 300 US Dollar perbulan, dan hanya 2 ABK yang dijanjikan gaji lebih tinggi yaitu sebesar 400 dan 450 US Dollar perbulan.
Ke 14 ABK ini sebelumnya adalah 1 rombongan dari 22 ABK WNI yang bersama-sama menjadi ABK Kapal Longxing 629 pada awalnya. Namun 2 ABK dipindahkan ke kapal Longxing 630, dan 1 ABK meninggal di Kapal Longxing 629.
Setelah itu 19 ABK meminta untuk dipulangkan, kemudian dipindahkan ke Kapal Longxing 802 yang menuju ke Samoa, diperjalanan itu 1 ABK meninggal, lalu 16 ABK dipindahkan ke Kapal Tian Yu 82 yang menuju Busan, sedangkan 2 ABK tetap melanjutkan perjalan menuju Samoa.
Dalam perjalan menuju ke Busan 1 ABK meninggal dunia karena sakit.
Akhirnya 15 ABK sampai di Busan dan menjalani karantina kesehatan, dalam karantina 1 ABK meninggal karena sakit.
Baca: LPSK: Permohonan Perlindungan Saksi dan Korban Naik di Tengah Pandemi Corona
Menurut Edwin, kasus ABK Kapal Longxing 629 ini menambah daftar korban TPPO yang mendapatkan perlindungan LPSK.
Dalam rentang waktu Januari – 8 Juni 2020, sebanyak 45 (empat puluh lima) orang terlindung LPSK korban TPPO yang berprofesi sebagai pekerja hiburan, buruh migran dan pekerja seks komersial, 28 orang diantaranya berprofesi sebagai ABK.
Pada kesempatan yang sama Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo menyatakan kejahatan perdagangan orang mendapat atensi khusus dari LPSK. TPPO merupakan 1 dari 8 tindak pidana prioritas yang mandatkan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban.
“Pada 2018 terdapat 186 terlindung dari kasus TPPO dan naik menjadi 318 terlindung di tahun 2019. Angka tersebut menempatkan kasus TPPO pada posisi empat besar jumlah terlindung LPSK setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme dan pelanggaran HAM berat di tahun 2019” ujar Anton.
Bagi Anton, peristiwa yang menimpa 14 ABK Indonesia ini, semakin menegaskan maraknya kasus perdagangan orang pada sektor perikanan.
Kasus TPPO yang menyasar ABK bukan kali pertama ditangani LPSK. Setidaknya sejak 2013 hingga Juni 2020 terdapat 228 korban dari 11 kasus yang telah mendapatkan perlindungan oleh LPSK.
“Namun, angka ini diyakini bukan merupakan jumlah keseluruhan dari korban dalam peristiwa serupa yang terjadi” kata Anton
Dari pengalaman LPSK menangani kasus TPPO yang menimpa ABK, ditemukan fakta banyaknya perlakukan tidak manusiawi yang dialami oleh para korban.
Biasanya korban mengalami penipuan dalam proses rekrutmen, pemalsuan identitas, jam kerja yang melebihi aturan, penganiayaan, gaji yang tidak layak, hingga penjeratan hutang.
Secara umum, dalam kasus tindak pidana perdagangan orang seperti ini, LPSK memiliki beragam program perlindungan yang dapat diakses korban.
Perlindungan program seperti perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural, perlindungan hukum, bantuan medis dan psikologis, rehabilitasi psikososial hingga fasilitasi restitusi.
Hak atas ganti rugi berupa pengajuan restitusi ini menjadi hal yang penting dalam perlindungan terhadap korban.
Karena ini merupakan salah satu cara bagi korban untuk menuntut penghasilan yang belum dibayarkan, termasuk penggantian biaya yang telah dikeluarkan korban dan sarana penggantian atas penderitaan yang telah dialaminya.
Anton menambahkan, LPSK telah berulangkali memfasilitasi penilaian restitusi pada sejumlah kasus TPPO yang menimpa ABK.
Total restitusi pada kasus TPPO ABK yang dikabulkan oleh majelis hakim mencapai Rp. 4.778.195.396 (Empat Milyar Tujuh Ratus Tujuh Puluh Delapan Juta Seratus Sembilan Puluh Lima Ribu Tiga Ratus Sembilan Puluh Enam Rupiah).
“Namun sayangnya, restitusi masih menemui sejumlah kendala pada tahapan eksekusi karena pelaku enggan membayarkan kepada korban serta lebih memilih hukuman tambahan berupa kurungan” ucap Anton
Kejahatan perdagangan orang yang marak terjadi menuntut peran penegak hukum untuk melakukan penindakan secara tegas kepada siapa pun yang terlibat dan perlindungan berupa pemenuhan hak-hak korban secara adil.
Serta kerja sama internasional untuk menghukum foreign offeder.