Dalam hal ini, kebutuhan yang dimaksud merujuk pada kebutuhan afiliasi untuk bergabung dengan suatu kelompok.
Terlebih, kebutuhan afiliasi ini diwadahi oleh sebuah sosial media, dengan fitur dan kemudahan yang berkembang pesat.
"Kenapa mereka membentuk komunitas, karena butuh afisiliasi dan alasannya macam-macam."
"Ada yang mencari penguatan, kesamaan pengalaman, atau untuk mendapatkan dukungan emosional."
"Itu yang mereka dapatkan oleh seseorang ketika masuk ke komunitas itu," ujar Hudan kepada Tribunnews, Jumat (26/6/2020).
Baca: 7 Fakta Pembelaan Jennifer Dunn Soal Image Pelakor, Ganti Nama & Hidup dari Nol dengan Faisal Haris
Lebih lanjut, Hudan mengatakan, padahal tujuan membuat grup untuk mewadahi korban pelakor atau istri yang dimadu.
Namun, tujuan tersebut beralih fungsi lantaran pembuatnya menjadikan grup terbuka untuk umum.
"Jadi yang tadi ditujukan untuk mewadahi istri yang sedih, ternyata komunitas itu dimanfaatkan para pelakor."
"Tetapi namanya media sosial, tidak bisa diseleksi sehingga konsekuensinya begitu, menjadi beralih fungsi karena kita tidak bisa kontrol juga," papar Hudan.
Mengontrol sosial media memang sulit dilakukan, tapi masyarakat bisa mengontrol diri agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan sebuah grup.
Lalu, apa yang bisa dilakukan agar warganet mengantisipasi hal tersebut?
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Bimbingan dan Konseling UMM ini mengaku, pentingnya peran orang tua agar terlibat dalam mendidik anak.
Terlebih, menyeleksi informasi yang pantas diberikan kepada anak.
"Kuncinya ada di pendidikan dari orang tua, seperti mendidik anak dengan benar dan lebih kuatnya peran sekolah," pungkas Hudan.
(Tribunnews.com/Maliana)