Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi pernyataan penasihat hukum terdakwa kasus suap dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Imam Nahrawi.
Sebelumnya, penasihat hukum bekas Menpora itu menyebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK tidak mendalami lebih lanjut sadapan pembicaraan aliran uang ke mantan Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Adi Toegarisman dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyatakan bahwa selama persidangan Imam Nahrawi tidak kooperatif.
"Berdasarkan informasi JPU, selama persidangan Imam Nahrawi tidak kooperatif mengakui fakta adanya penerimaan sejumlah uang maupun pengetahuannya mengenai dugaan pihak-pihak lain juga menerima sejumlah uang sebagaimana apa yang disampaikan penasihat hukumnya tersebut," kata Ali dalam keterangannya, Rabu (1/7/2020).
Baca: KPK Buka Peluang Jerat Pihak Lain Usai Imam Nahrawi Divonis 7 Tahun Penjara
Baca: Terbukti Bersalah Kasus Suap Dana Hibah KONI, Imam Nahrawi Divonis 7 Tahun Penjara
Baca: Kubu Imam Nahrawi Minta KPK Tindaklanjuti Pengakuan Taufik Hidayat Soal Pemberian Uang Rp 1 M
Saat ini, lanjut Ali, perkara sudah diputus dan Imam Nahrawi dinyatakan bersalah berdasarkan sudah adanya alat bukti yang cukup sejak awal penyidikan. Termasuk di antaranya soal sadapan tersebut.
"[Sadapan], justru merupakan petunjuk benar adanya penerimaan uang oleh terdakwa selaku Menpora saat itu," ujar Ali.
Sehingga, apabila Imam Nahrawi tidak menerima putusan, masih ada kesempatan untuk menempuh langkah upaya hukum berupa banding.
"Dan jika saat ini tim penasihat hukum maupun terdakwa Imam Nahrawi mempunyai bukti-bukti yang sekarang akan diakuinya, silakan lapor ke KPK," tegas Ali.
Diketahui, dalam persidangan Imam Nahrawi saat JPU menghadirkan saksi mantan asisten Imam Nahrawi, Miftahul Ulum, terungkap bahwa ada aliran uang ke pejabat BPK dan Kejagung.
Menurut penasihat hukum Imam, Wa Ode Nur Zainab, mengatakan hal tersebut sudah diungkapkan di persidangan namun tak ditindaklanjuti lebih dalam oleh KPK.
Bahkan, lanjutnya, Ulum juga menjelaskan ihwal waktu-waktu pemberiam uang-uang itu.
Ulum, kata dia, juga sampai pernah diancam agar seakan-akan uang itu diterimanya sendiri, supaya opini yang berkembang justru ke Imam Nahrawi.
“Ada tapping [sadapan] pembicaraan soal uang itu sebenarnya. Tanya ke KPK, dan padahal ada buktinya, tapi itu tidak pernah didalami,” ujar Zainab di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (30/6/2020).
Meskipun, lanjut Zainab, saat menyampaikan nota pembelaan, Ulum menyampaikan permintaan maaf ihwal pernyataannya tersebut.
Zainab menyebut permintaan maaf Ulum tersebut bukan berarti perkataan sebelumnya tidak benar.
Menurut Zainab, Ulum memang membeberkan fakta-fakta pemberian uang itu saat diperiksa KPK, hanya saja ia meminta maaf karena menyebutkan identitas personal saat di persidangan.
Karena itu, kata dia, Ulum menyampikan maaf bukan berarti mencabut atau mengubah pernyataan dirinya, baik di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) maupun di persidangan.
Bahkan kepada penyidik materi itu merupakan bagian dari pengajuan Justice Collaborator (JC) kliennya.
“Beberapa kali saya ketemu, beliau [Ulum] itu sebenarnya dengan gamblang sekali bercerita, kepada saya, bagaimana beliau tahu ada uang yang diberikan ke penegak hukum ’sebelah’, bahkan disebutkan orang-orangnya siapa, yang mengantarkan uangnya siapa, itu disebutkan,” terang Zainab.
Imam Nahrawi dinyatakan bersalah dalam kasus ini. Imam divonis 7 tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider 3 bulan kurungan.
Selain pidana badan, Imam juga diwajibkan untuk membayar uang pengganti senilai Rp18.154 238.882. Jika tidak dibayarkan, maka harta benda milik Imam Nahrawi akan disita dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
"Jika harta benda terdakwa belum juga cukup untuk membayar uang pengganti, maka terdakwa dikenakan pidana penjara selama 2 tahun," ucap hakim.
Selain itu, Imam juga dikenakan hukuman tambahan dengan pencabutan hak politik selama 4 tahun setelah menjalani masa pidana penjara. Majelis Hakim juga menolak Justice Collaborator yang diajukan oleh Imam Nahrawi.