TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) setidaknya menemukan enam kejanggalan dari pelaksanaan program Kartu Prakerja.
Atas temuannya itu, ICW mendesak Ombudsman RI untuk mengeluarkan rekomendasi pemberhentian program Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut.
"ICW menuntut agar Ombudsman RI melakukan pemeriksaan terhadap adanya dugaan maladministrasi pada Program Kartu Prakerja dan mengeluarkan rekomendasi untuk menghentikan Program Kartu Prakerja, karena indikasi maladministrasi sejak dalam proses perencanaan," kata Peneliti ICW Wanna Alamsyah dalam keterangannya, Kamis (2/7/2020).
ICW pun telah melaporkan enam dugaan maladministrasi ke Ombudsman pada hari ini.
Dalam laporannya, setidaknya terdapat enam landasan program tersebut harus dihentikan terlebih dahulu oleh pemerintah, yaitu:
Baca: Program Paket Pelatihan Kartu Pra Kerja Dihentikan
Pertama, penempatan Program Kartu Prakerja dinilai tidak sesuai dengan tugas, pokok, fungsi yang selama ini diemban oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
ICW menilai, idealnya program itu diampu oleh Kementerian Ketenagakerjaan lantaran sesuai dengan tugas pokok dan ranah kewenanganannya.
ICW juga menilai potensi konflik kepentingan dapat timbul lantaran menempatkan Kemenko Perekonomian sebagai pelaksana teknis program Kartu Prakerja.
"Karena fungsi pengawasan dan fungsi pelaksanaan teknis menyatu pada satu Kementerian. Sehingga, ini dipandang sebagai maladministrasi karena melampaui wewenang sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008," papar Wanna.
Kedua, mekanisme kurasi lembaga pelatihan dianggap tidak layak dan mengandung konflik kepentingan.
Argumen ini dilandaskan lantaran platform digital dan manajemen pelaksana menjalankan kurasi kurang dari 21 hari sebagaimana aturan yang tertera dalam Pasal 27 Permenko Nomor 3 Tahun 2020.
Hal ini diyakini dalam proses kurasi pada gelombang I Program Kartu Prakerja, yang menutup proses pendaftaran hanya dalam waktu lima hari sejak dibuka pada April lalu.
"Tentu waktu ini dipandang tidak cukup untuk menghasilkan lembaga pelatihan yang benar-benar teruji dan profesional. Bahkan dapat berpotensi merusak kualitas pelatihan yang sebelumnya dijanjikan akan diberikan," ujar Wanna.
Ketiga, perjanjian kerjasama antara manajemen pelaksana dengan platform digital diduga dilakukan sebelum terbitnya Permenko Nomor 3 Tahun 2020.