Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak DPR segera menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Sekretaris Jenderal PBNU, Helmy Faishal Zaini mengatakan RUU HIP menyebabkan perdebatan yang tidak produktif dan akan menimbulkan pertentangan.
“Pancasila sudah merupakan sumber dari segala sumber hukum, maka tidak diperlukan lagi undang-undang yang menjadi legitimasi pengertian dan konsusium tentang Pancasila itu sendiri,” ujar Helmy dalam webinar daring ‘Peran Umat Islam dalam mengawal RUU HIP’, Senin (6/7/2020).
Baca: Berkah di Balik Polemik RUU HIP, Mereka yang Awalnya Pro-Negara Agama Kini Jadi Jubir Pancasila
Pada Selasa (16/7/2020), PBNU secara terang-terangan menolak RUU tersebut lewat surat keterangan resmi. PBNU juga mendesak DPR RI untuk menghentikan legislasi RUU HIP.
Sekjen PBNU juga menyarankan agar DPR untuk fokus membuat RUU untuk BPIP.
Sebagaimana dijelaskan Helmy, PBNU bersama sejumlah ormas, termasuk Muhammadiyah dan MUI pernah diundang Wakil Presiden, Ma'ruf Amin untuk membahas RUU HIP.
Baca: Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan: MPR dan PBNU Satu Pandangan Pembatalan Total RUU HIP
Dalam pertemuan tersebut juga hadir Menko Polhukam, Mahfud MD dan sejumlah tokoh ormas lain.
Helmy menyampaikan berdasarkan paparan dari Wapres dan Menko Polhukam diketahui lahirnya RUU HIP sebetulnya membuat undang-undang yang menjadi payung hukum untuk menguatkan badan yang baru dibentuk yaitu BPIP.
“Kita ketahui kalau ada lembaga yang baru dibentuk pasti ada undang-undang. Karena judulnya RUU HIP ini memancing kontroversi yang luar biasa,”
Menurutnya, RUU HIP menyebabkan perdebatan yang tidak produktif dan akan menimbulkan pertentangan. Karena ada kekhawatiran dari rakyat bahwa BPIP akan diperkuat.
Obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif akan menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan masyarakat.
Penguatan eksesif kelembagaan BPIP dapat melahirkan kembali BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman Orde Baru yang praktiknya menjadi alat sensor ideologi masyarakat.
Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu, yang pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturan norma dalam masyarakat.
“Komitmen NU terhadap Pancasila, kami menegaskan bahwa Pancasila merupakan titik temu yang disepakati sebagai dasar negara dan hasil dari kesatuan proses yang dimulai sejak pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945,” lanjutnya.