Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai iklan yang mempromosikan rokok seharusnya dihentikan karena rokok dianggap sebagai 'produk beracun'.
Menurutnya, masifnya kemunculan iklan yang menawarkan produk rokok justru memicu kenaikan jumlah perokok pemula.
Padahal pemerintah telah menargetkan prevalensi merokok untuk usia anak turun menjadi 5,4 persen, sesuai dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019.
Baca: Pemerintah Optimistis Ekonomi Tetap Positif Ditopang Sektor Industri Rokok hingga Farmasi
Namun nyatanya, kata dia, jumlah perokok pemula malah terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Perlu diketahui, produk satu ini merupakan produk yang dikenakan cukai.
Sesuai Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, disebutkan bahwa produk atau barang yang terkena cukai merupakan produk yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, serta pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.
Baca: Jutaan Batang Rokok Ilegal Siap Edar Berhasil Diamankan Bea Cukai di Dua Kota
"Spirit dalam UU cukai itu, produksi dan marketing barang kena cukai harus dibatasi. Barang yang kena cukai harus dikendalikan, bukan dipromosikan. Mempromosikan rokok bertentangan dengan spirit UU cukai sehingga mempromosikan produk yang kena cukai tidak pantas secara etika dan tidak pantas secara Undang-Undang," ujar Tulus, dalam keterangan tertulisnya, Minggu(5/7/2020) malam.
Ia menilai bahwa Indonesia masih belum mampu menerapkan aturan untuk mengendalikan peredaran rokok. Bahkan di dunia digital pun, iklan yang menawarkan produk ini masih marak ditemukan.
"Saat ini peredaran iklan rokok di Indonesia marak sekali. Sekali klik, kita buka link apa saja ada iklan rokok," kata Tulus.
Tulus menilai keberadaan iklan tersebut sebagai suatu hal yang ironis karena terus memicu bertambahnya jumlah perokok pemula.
Baca: Saham Rokok hingga Telco Dinilai Tahan Banting Saat Pandemi Covid-19
"Ironisnya, produk yang menimbulkan ketergantungan yang sangat, tetapi diberikan jalan untuk mempromosikan. Itu sangat tidak masuk akal dari sisi psikologi sosial," jelas Tulus.
Karena itu, kata dia, diperlukan ketegasan untuk melindungi konsumen dari jeratan produk yang menimbulkan zat adiktif ini. Ia pun mendesak pemerintah agar melarang iklan rokok di internet demi melindungi masyarakat dengan adanya kepastian hukum.
Selain itu, Tulus berharap tidak ada iklan rokok dimanapun, dalam jenis apapun, apalagi pada kegiatan sponsor olahraga.
"Jadi idealnya sesuai dengan standar internasional dan UU Cukai, iklan produk yang terkena cukai harus total banned. Harus dilarang total, seperti misalnya miras yang tidak diiklankan, barang kena cukai kok diiklankan," kata Tulus.
Berdasarkan data yang tertuang dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, prevalensi merokok pada anak usia 10-18 tahun mencapai 9,1 persen.
Angka ini mengindikasikan terjadinya kenaikan jika dibandingkan tahun 2013 yang hanya mencapai 7,2 persen.
Ini berarti ada sekitar 8 juta anak yang telah menjadi perokok aktif.