TRIBUNNEWS.COM - Aktivis dari Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo, Fitri Haryani, meminta korban catcalling untuk berani melapor.
Menurutnya, dengan berani berbicara maka akan memunculkan kepedulian di tengah-tengah masyarakat.
Sehingga akhirnya nanti, masyarakat semakin peduli catcalling merupakan bagian dari kekerasan seksual secara verbal.
"Setiap melakukan sosialisasi maupun pendidikan kritis pada masyarakat saya selalu menekankan untuk berani bicara bagi setiap orang yang mengalami kekerasan seperti catcalling juga."
"Dengan berani bicara maka akan menjadi perhatian dan memunculkan kepedulian bersama."
"Keengganan korban melapor karena tadi perlindungan hukumnya tidak pasti," katanya kepada Tribunnews, Senin (13/7/2020).
Baca: Reaksi Hannah Al Rashid saat jadi Korban Catcalling Dapat Cibiran, Ini Kata Aktivis Perempuan
RUU PKS Lindungi Korban Catcalling
Fitri menilai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) ini sangat penting untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual di tanah air.
Bahkan menurut Manager Divisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat SPEK-HAM ini, RUU PKS sangat komprehensif.
"Rancangan UU tersebut dibuat untuk memberikan jaminan perlindungan bagi setiap orang."
"Tidak hanya soal delik hukum saja, tapi ada upaya pencegahan, rehabilitasi, serta restitusi. Prinsipnya RUU tersebut bagian dari memberikan perlindungan HAM, perlakuan diskriminasi bagi setiap orang.
"RUU PKS memberikan jaminan yang komprehensif," bebernya.
Fitri melanjutkan penjelasannya, RUU PKS dapat menjerat orang yang melecehkan orang lain lewat verbal.
Termasuk siul-siul dengan niat menggoda atau yang akrab disebut catcalling.
Menurut Fitri, catcalling termasuk bagian dari bentuk kekerasan seksual.
"Bagian dari pelecehan seksual, dan sebenarnya nggak hanya untuk perempuan saja sasarannya, laki-laki pun bisa mengalami catcalling. Cuma selama ini kan lebih banyak dialami perempuan."
"Kembali lagi tadi definisi dari kekerasan seksual, dalam definisinya tidak menyebutkan jenis kelamin tertentu ataupun soal orientasi tertentu tetapi menyebutnya setiap orang jadi ini berlaku pada semua."
"Pada prinsipnya kebijakan (RUU PKS) bagian dari upaya untuk perlindungan secara khusus pada setiap orang atas serangan yang menyasar seksualitas seseorang," urainya.
Fitri menjelaskan meskipun termasuk dari kekerasan seksual secara verbal, selama ini catcalling belum ditangani secara maksimal.
"Selama ini penanganan catcalling yang dilakukan saat sekarang baru sebatas pengaduan di ke polisian saja, itupun masih butuh proses panjang," tambahnya.
Fitri berpendapat hal di atas tidak terlepas dari belum adanya payung hukum yang secara spesifik mengatur catcalling ini.
"Di KUHAP kan belum ada secara spesifik berbicara tentang unsur maupun tindak perkara tersebut, jadi prosesnya sering terhambat dikarena bukti penguat unsur tindak perkara tersebut lemah."
"Nah hal tersebut kemudian banyak korban yang enggan untuk melapor," beber Fitri.
Baca: Jika Sudah Disahkan, RUU PKS Bisa Polisikan Orang Siul-siul Goda Perempuan
Sejarah Panjang RUU PKS
Fitri membeberkan perjuangan untuk mengesahkan RUU PKS sudah berlangsung puluhan tahun.
Bahkan perjuangan untuk mengawal RUU ini sudah dilakukan oleh para aktivis dan lembaganya sejak 19 tahun yang lalu.
"Dimulai tahun 2001 hingga 2010 melakukan data analisa kasus yang ada Komnas Perempuan dan pada tahun 2014 Komnas Perempuan bersama Forum Pengada Layanan termasuk SPEK-HAM masuk bagian di dalamnya, akademisi serta pakar hukum menyusun draft naskah akdemiknya."
"Selain itu hingga sampai sekarang advokasi kami bersama jejaring layanan bagi korban kekerasan berbasis gender masih tetap dilakukan hingga di akhir tahun 2019 Rancangan tersebut menjadi prioritas DPR RI dan menjadi usulan DPR RI," jelas Fitri.
Melihat sejarah perjuangan yang panjang dan langkah mengeluarkan RUU ini dari (Prolegnas) Prioritas 2020 tentu menimbulkan kekecewaan dari berbagai kalangan.
Terkhusus bagi korban kekerasan seksual itu sendiri.
Bagi Fitri, RUU PKS tersebut sebenarnya bisa menjawab kebutuhan bagi seluruh masyarakat melihat dampak kekerasan seksual yang sangat luas.
Ia memandang selama ini belum ada peraturan khusus yang memberikan perlindungan dan jaminan bagi korban terutama korban Kekerasan Seksual.
"Rancangan Undang-undang tersebut sebenarnya melengkapi perlindungan hukum yang ada selama ini seperti UU PKDRT, KUHP, UU Kesehatan, UU Perlindungan Anak."
"Saya sangat mendukung untuk segera disahkan, bukan malah dikeluarkan dalam Prolegnas," tandasnya.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)