TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembobol Bank BNI Maria Pauline Lumowa masih enggan untuk menjalani pemeriksaan dari penyidik polri.
Alasannya, pelaku masih menunggu bantuan hukum yang diberikan Kedubes Belanda.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan kepolisian sejatinya bisa menunjuk pengacara yang ditunjuk dari penyidik jika yang bersangkutan belum juga mendapatkan bantuan hukum dari Kedubes Belanda.
"Jika tidak juga mendapatkan, maka pemeriksaan untuk berita acara pemeriksaan (BAP) tetap bisa dilanjutkan dengan pendampingan oleh penasihat hukum yang ditunjuk penyidik," kata Fickar dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (14/7/2020).
Baca: Pengacara Maria Pauline Ditangkap Karena Berupaya Suap Otorita Serbia
Namun demikian, ia mengatakan alasan Maria menolak untuk diperiksa penyidik karena belum mendapatkan bantuan hukum atau pengacara dinilai konstitusional.
Pasalnya, pelaku yang terancam hukuman pidana penjara di atas 5 tahun memang harus didampingi penasihat hukum.
Aturan itu termaktub dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Pasal 56 KUHP.
"Seseorang yang disangkakan melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya pidana mati atau 15 tahun atau 5 tahun bagi mereka yang tidak mampu, maka pejabat dalam pemeriksaan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka," jelasnya.
Lebih lanjut, Abdul menyebutkan Maria Lumowa harus diberikan ruang untuk mendapatkan bantuan hukum agar BAP yang diambil kepada pelaku menjadi sah.
Hal itu juga mempengaruhi keputusan pengadilan nantinya.
"Jika kewajiban ini (bantuan hukum, Red) tidak dipenuhi, maka berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat dalam penyidikan menjadi tidak sah karena itu nantinya dinyatakan oleh putusan pengadilan dakwaan tidak dapat diterima," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Awi Setiyono mengatakan mengatakan pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru Maria Pauline Lumowa menolak diperiksa oleh polisi.
Awi mengatakan tersangka menolak diperiksa karena yang bersangkutan belum mendapatkan pendampingan hukum dari Kedutaan Besar (Kedubes) Belanda.
"Pada intinya tersangka meminta pendampingan dari penasihat hukum yang akan disediakan oleh Kedubes Belanda, tetapi karena belum ada jadi penyidikan dihentikan hingga tersangka mendapat bantuan hukum, kami hormati hak tersangka," kata Awi di Mabes Polri, Jakarta, Senin (13/7/2020).
Dia mengatakan kepolisian masih menunggu jawaban dari Kedubes Belanda terkait bantuan hukum terhadap warganya tersebut.
Kendati demikian, pihaknya masih melacak aset-aset yang dimiliki tersangka.
"Kami masih menunggu jawaban resmi dari surat yang telah kami kirimkan. Itu teknis ya. Kami pastikan akan menelusuri digunakan untuk apa saja uang Rp1,7 triliun itu," pungkasnya.
Untuk diketahui, Maria Pauline Lumowa alias MPL merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru. Modus operandi yang dilakukan dengan cara Letter of Credit (L/C) fiktif.
Baca: Polri Buka Opsi Gandeng Kejagung Lacak Aset Pembobol Bank BNI, Maria Lumowa
Maria Pauline Lumowa bersama-sama dengan Adrian Waworuntu, pemilik PT Gramarindo Group menerima dana pinjaman senilai 136 juta dollar Amerika Serikat atau setara Rp 1,7 Triliun, pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003 dari Bank BNI.
Pada Juni 2003, pihak BNI mencurigai transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor.
Kemudian, dugaan L/C fiktif ini dilaporkan ke Mabes Polri. Maria terlebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.
Pada 2009, diketahui Maria berada di Belanda dan sering bolak-balik ke Singapura. Maria sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Pada 16 Juli 2019, MPL ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia.
Upaya penangkapan itu berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003. Setelah ditangkap pada tahun lalu, pemerintah Indonesia meminta agar dilakukan penahanan sementara sambil mengurus pemulangan ke tanah air.
Akhirnya, MPL dibawa ke Indonesia, pada Rabu 8 Juli 2020. Upaya pemulangan itu hanya berlangsung satu minggu sebelum MPL dibebaskan dari tahanan.