TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, sebagai pengganti nomenklatur Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Seperti respon terhadap RUU HIP, ragam pro-kontra juga berkembang atas RUU BPIP.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Prof. Jimly Ashiddiqie menyatakan bahwa BPIP tidak memerlukan payung hukum setingkat Undang-Undang (UU).
Sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, landasan hukum BPIP saat ini, yakni Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2018 tentang BPIP, menurutnya sudah cukup.
“Sebagai lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK), BPIP cukup diatur dengan Peraturan Presiden, tidak perlu UU”, demikian tegas Jimly di Jakarta, 18 Juli 2020.
Baca: Politikus PDIP: Pemerintah Setuju RUU HIP Dalam Konteks Perkuat BPIP
Baca: Politikus PKS: RUU HIP dan RUU BPIP Berbeda Substansi, Tak Bisa Ditukar Begitu Saja
Menanggapi pendapat tersebut, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menyatakan, Prof. Jimly Ashiddiqie memiliki pendapat yang kontradiktif dengan pandangannya sendiri.
"Sebab sebelumnya beliau sepakat dengan RUU tersebut, bahkan mengajukan usulan penambahan wewenang BPIP," kata Karyono kepada Tribunnews, Senin (20/7/2020).
Menurut Karyono, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Badan Legislasi DPR RI pada 11 Februari 2020, Prof. Jimly mengusulkan naiknya status BPIP menjadi Dewan Nasional Pembinaan Ideologi Pancasila (DN-PIP) yang memiliki kewenangan mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD kepada Mahkamah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawah UU kepada Mahkamah Agung.
Dengan kewenangan ini, kedudukan DN-PIP memiliki constitutional importance yang setara dengan lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945.
"DN-PIP lalu menjadi penjaga gawang bagi sinkronisasi peraturan perundang-undangan guna menegakkan nilai-nilai Pancasila dalam tata hukum kita," imbuh Karyono.
Dengan demikian, sejak awal Prof. Jimly sepakat dengan RUU penguatan BPIP tersebut, bahkan menambahkan wewenang konstitusional untuk melakukan evaluasi, sinkronisasi dan harmonisasi produk perundang-undangan agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Selain mengusulkan penambahan wewenang BPIP, menurut Karyono, Prof. Jimly juga mengusulkan agar RUU ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan omnibus law, sehingga UU lain yang memiliki keterkaitan dengan materi kebijakan normatif dalam RUU BPIP bisa dievaluasi dan disinkronisasikan secara terpadu.
Dengan demikian, agak membingungkan jika saat ini Prof. Jimly berubah pendapat terkait urgensi payung hukum terhadap Badan Pembinaan Ideologi Pancasila tersebut.
Bagi Karyono, menaikkan legal standing BPIP dari Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2018 menjadi UU sangat wajar dan sudah dilakukan untuk lembaga pemerintah non-kementerian lain.
“Banyak lembaga pemerintah non-kementerian berpayung UU. Seperti Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika yang berpayung hukum UU No. 31 Tahun 2009, Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang berpayung hukum UU No. 8 Tahun 2008, atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang berpayung hukum UU No. 5 Tahun 2018. Mengingat betapa pentingnya pembinaan ideologi Pancasila, maka sangat penting BPIP mendapatkan payung hukum selevel UU," jelas Karyono.
“Dengan berpayung hukum UU, program penguatan Pancasila tidak akan berganti atau bahkan hilang akibat pergantian rezim. Penguatan Pancasila sebagai dasar negara akhirnya tidak tergantung pada siapa yang sedang berkuasa, karena telah memiliki landasan hukum yang permanen, yakni UU," pungkasnya.