"2014 saya nyaleg pakai strategi Bang ZA (Zainuddin Amali). Strategi ini juga diikuti Kang Ichsan. Cuma waktu itu saya belum terpilih. Pertama kali nyaleg 26.150 suara. Tapi itu tidak membuat saya patah semangat walau sempat kecewa. Akhirnya daftar lagi jadi TA Fraksi," katanya.
Belajar dari pengalaman pemilu 2014, Zulfikar kemudian menggunakan strategi berbeda di pemilu 2019.
Di pemilu kali ini, Zulfikar maju melalui Dapil Jawa Timur III meliputi Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo. Pada pemilu kali ini, dirinya tidak menyiapkan apa-apa.
Maklum, sebagai tenaga ahli, dirinya hanya mengandalkan pendapatan dari gaji dan tidak mencari duit sampingan untuk modal nyaleg. Kepada para staf ahli, dia pun berpesan agar tidak nyambi menjadi makeler projek atau jabatan di DPR.
"Saya tidak menyiapkan apa-apa dalam arti modal karena saya memang tidak pandai nyari uang. Teman-teman ini mungkin nyambi, tapi mudah-mudahan yang bagus. Jangan jadi makelar kasus, proyek, apalagi jabatan. Jangan. Sebagai staf ahli, tenaga ahli, kemudian jadi anggota. Sebenarnya capaian tertinggi itu kalau teman-teman berhasil menjadi Anggota DPR. Kalau teman-teman tidak punya motivasi kesana, ngapain disini terus sampai tua. Kalian harus punya motivasi. Mau (DPR) kabupaten/kota. propinsi atau pusat," katanya memotivasi.
Kembali ke pencalegan dirinya. Zulfikar mengaku saat nyaleg pada pemilu lalu, dirinya tidak terlalu memikirkan uang,
Waktu itu, dirinya hanya mengandalkan modal honor menjadi Tenaga Ahli dengan pendapatan Rp 9,5 juta per bulan, potong pajak dan BPJS.
"Hanya itu dan juga andalkan perbuatan baik, integritas sama jaringan karena dulu aktif ormas. Saya dulu aktif di HMI, ICMI, modal itulah saya pakai nyaleg di 2019," tuturnya.
Di Dapil Jawa Timur III ini, dirinya fokus turun ke dapil hanya 1 bulan menjelang hari pencoblosan. Maklum, dananya memang tidak ada.
"Alhamdulillah partai membantu lewat Pak Robert (Bendahara Umum Golkar saat itu Robert J. Kardinal) melalui ya pendidikan politik seperti ini. Partai kan dapat bantuan, Rp 200 per suara kalau nggak salah.
Sekarang Rp 1000 per suara. Pada 2014 itu, Golkar 18 juta suara. Dapat bantuan ya sekitar Rp 18 M. Bantuan itukan harus digunakan untuk kaderisasi dan parpol tapi sebagian besar kaderisasi dan pendidikan politik. Melalui jasa bendum sekaligus ketua fraksi (saat itu diemban Robert J Kardinal), kita diberi bantuan min 2 paket. 1 paket 50 juta. Karena saya koordinator dapat Rp 50 juta. Teman-teman lain dapat Rp 25 juta. Jadi saya bagi juga ke teman-teman yang lain," katanya.
Melalui program pendidikan partai, dirinya tidak lagi membentuk tim sampai ke TPS. Tapi menggunakan struktur partai dengan menggunakan sistem dana pendidikan politik yang disebarnya ke tiga kabupaten di dapil Jawa Timur III.
"Saya lalu tandem dengan caleg DPRD adakan kegiatan setiap hari buat pertemuan minimal 100 orang di 3 kabupaten. Dan Alhamdulillah saya tidak pakai (serangan fajar) pada hari H. Bukan karena sok suci, memang tidak ada duit. Saya pasrah saja. Jadi selama 16 Maret sampai April sy full di 3 kabupaten. Kalau tertarik coblos, kalau nggak ya nggak apa-apa. Hingga akhirnya terpilih. Biaya total itu tidak sampai Rp 2 miliar," katanya.
Dia pun berpesan kepada para staf dan tenaga ahli agar pengalaman dirinya ini bisa memotivasi para tenaga ahli di fraksi untuk tidak takut nyaleg pada pemilu nanti.
"Ke depan kalau mau berpikir buat partai. Karena teman-teman kan bekerja di partai, tidak hanya berpikir berpikir untuk angota dan teman-teman tapi juga berpikir buat partai. Kita harus tahu apa yang terjadi di partai kita. Baca situasi partai dari pemilu ke pemilu agar menjadi bagian dari introspeksi kita sampai 2024," tambah Anggota Badan Legislasi DPR ini.