TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sesuai tahapan pencalonan pilkada 2020 yang akan berlangsung pada 09 Desember 2020 mendatang, proses politik bagi para kandidat yang berencana maju dan bertarung
memperebutkan jabatan gubernur, bupati dan walikota pada 171 daerah nanti telah berlangsung
keras.
Partai-partai yang memiliki hak kursi menjadi rebutan terutama yang memiliki jumlah kursi besar.
Karena jarang parpol yang memiliki jumlah kursi penuh untuk mengusung sendiri maka kandidat harus mencari tambahan kursi alias berkoalisi dengan partai lain.
Baca: Pantau Kegiatan Coklit, Jajaran Komisioner KPU RI Blusukan ke Daerah Penyelenggara Pilkada
Perebutan kursi parpol untuk mendapat tiket bertarung berlangsung seru penuh intrik, saling sikut hingga saling begal dukungan.
Riset Nagara Institute menemukan fakta, bahwa terjadi hubungan yang kuat antara rekrutmen partai politik dalam Pilkada sebelumnya dengan performa kepala daerah yang sangat rendah.
"Pragmatisme partai dihadapan kandidat yang super agresif atau sebaliknya semakin mengkhawatirkan," ujar Direktur Eksekutif Nagara Institute, Akbar Faizal dalam keterangan tertulis kepada Tribunnews.com, Senin (27/7/2020).
Akbar mengatakan, Partai Politik seakan melupakan bumi tempatnya berpijak. Hal ini bisa dilihat dari perilaku melupakan kader sendiri, lalu memberi karpet merah kepada kader partai lain atau bahkan kepada figur yang tak jelas asal-usul dan identitas politiknya.
Baca: PKB: Sebaiknya Wakil Machfud Arifin dari Nahdliyin untuk Hadapi Pilkada Surabaya
Akbar yang juga mantan Anggota DPR RI menjelaskan, proses pengusungan calon kepala daerah di 171 daerah kemungkinan masih akan carut-marut.
"Mahar politik, pembusukan terhadap kader sendiri, pengusungan terhadap kandidat non-kader, atau kandidat bekas terpidana dan penuh belitan kasus hukum tetap saja terjadi," paparnya.
Akbar menyontohkan, pengusungan Vonny Anneke Panambunan yang juga kader Partai NasDem sebagai calon Gubernur Sulawesi utara. Padahal Vonny adalah terpidana kasus korupsi bandara Loa Kulu, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur dan dijatuhi vonis penjara 1 tahun 6 bulan.
Baca: Partai Demokrat Siap Bertarung Lawan PDIP di Pilkada 16 Wilayah
Terkait hal itu, Nagara Institute memberikan sejumlah rekomendasi kepada para pimpinan parpol dan ditembuskan kepada Presiden, Ketua MPR, DPR dan DPD serta para pimpinan lembaga tinggi negara lainnya dan lembaga penegak hukum seperti Jaksa Agung, Polri dan Ketua KPK berisi tiga (3) poin desakan:
Hanya mencalonkan kader internal yang sekurang-kurangnya telah berproses dalam parrai
selama lima (5) tahun, dan atau pernah ditugaskan memperjuangkan ideologi partai dan
menutup pintu bagi kandidat non-kader.
Ini sebagai bentuk kedisiplinan pada pengelolaan partai politik yang berbasiskan kader.
Meski seorang kader, namun harus memenuhi integritas politik, kapasitas politik dan kapabilitas
politik. Termasuk didalamnya integritas hukum yang dikategorikan dalam cluster integritas
politik.
Partai politik tidak mengusung kandidat jika tidka tersedia sumber daya di internal parpol
meski memiliki hak dan kesempatan mengusung kandidat.
Penjelasan tentang tiga (3) kualifikasi politik tadi adalah, pertama, memiliki integritas politik,
yang maksudnya adalah seorang calon kepala daerah harus memiliki kehormatan tentang diri dan
keluarganya dihadapan sosial dalam pergaulan hukum (integritas hukum) dan bisa diidentifikasi
pada track recordnya sebagai manusia politik.
Juga ketaatan terhadap agam dan keyakinan yang dianutnya bisa dipertanggungjawabkan. Faktor fundamental religius ini sangat penting dalam memandu seseorang kepala daerah melaksanakan tugas dan tangungjawab politiknya kelak sebagai kepala daerah.
Kedua, memiliki kapasitas politik dimana seorang calon kepala daerah harus memenuhi dua
variabel yakni, memiliki kompetensi akademik dan kompetensi praktis.
Pada kompetensi akademis, seorang calon kepala daerah haruslah memiliki latar belakang akademik yang baik, memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap demokrasi dan pemerintahan yang cukup.
Kecerdasan akademis akan membuat seorang kepala daerah mampu mengukur kualitas dirinya
dalam bentuk kinerja yang terukur serta kecakapan yang mumpuni dalam merancang akselerasi
pembangunan daerahnya.
Sementara, kompetensi praktis akan membuat seorang kepala daerah kelak tidak lagi membutuhkan uji coba dalam pelaksanaan tugasnya sebab seorang kepala daerah terpilih sebenarnya tidak lagi memiliki waktu untuk sekadar melakukan uji coba kemampuan.
Ketiga, memiliki kapasitas politik, yakni kemampuan dan pengalaman politik dalam berbagai bidang terkhusus sosial ekonomi politik agar kepala daerah yang terpilih kelak tidak lagi menghabiskan waktu menghadapi masalah politik yang timbul akibat kelemahan mengelola segala sumber daya politik yang ada di daerahnya.
"Rekomendasi dari Nagara Institute ini demi menyelamatkan demokrasi kita sekaligus mengembalikan kehormatan partai politik sendiri."