Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia menilai bahwa tantangan yang harus diwaspadai ke depan adalah Pancasila tidak lagi menjadi perbincangan di ranah publik.
Hal itu akan mengakibatkan Pancasila sebagai ideologi negara tidak lagi ditempatkan sebagai pedoman hidup.
"Ketika suatu negara tidak lagi menempatkan ideologi negara sebagai panduan atau pedoman hidup itu menjadi masalah besar," kata Doli di Menara Kompas, Jakarta, Sabtu, (25/7/2020).
Selain itu, menurut dia, apabila ideologi negara tidak lagi diperbincangkan di tengah kondisi kehidupan bermasyarakat yang sangat terbuka, maka akan membuka ruang masuknya ideologi lain.
"Di era keterbukaan ini kan sebetulnya komunikasi lintas masyarakat sangat terbuka. kalau kita tidak punya fundamental yang kuat, maka akan bahaya, kita akan terbawa terpengaruh ideologi lain," ujarnya.
Baca: Pengarusutamaan Pancasila Belum Maksimal
Dia mencontohkan, 10 tahun lalu ramai di media sosial anak sekolah yang tidak hafal Pancasila.
Hal itu membuktikan bahwa tingkat pengenalan Pancasila sudah hilang. Penyebabnya, lantaran sempat terjadi keksosongan pengenalan Pancasila dari Pasca reformasi hingga 2024.
"Oleh karena itu ketika Presiden Jokowi membentuka lembaga yang mengawal Pancasila saya sangat setuju" katanya.
Senada dengan Doli, Pakar Hukum Tata Negara Bayu Dwi Anggoro mengatakan bahwa Pancasila harus dibumikan kembali. Secara ketatanegaraan Pancasila diakui sebagai ideologi negara yang harus dipahami, dihayati, dan dipraktekan.
"Pancasila harus dimengerti, dipahami, dihayati dan kemudian dipraktekan dalam kehidupan, sehingga Pancasila menjadi ideologi yang bekerja," katanya.
Dalam dokumen Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024 terdapat sejumlah tantangan dalan menjaga Pancasila.
Diantaranya, melemahnya ideologi pancasila akibat serbuan ideologi trans-nasional, serta penggunaan politik identitas dalam Pemilu.
"Hal itu bisa dilihat dari masih ada keinginan publik untuk mengganti ideologi Pancasila. Survei CSIS pada 2017 menyebutkan 9,5 persen milenial setuju Pancasila diganti ideologi lain, sementara survei Alvara Research 16,8 pelajar persen memilih ideologi selain Pancasila," katanya.
Perlu Lembaga Untuk Mengawal Ideologi Pancasila
Doli mengatakan bahwa ia merupakan salah satu yang mendorong agar terdapat aturan perundang-undangan yang mengatur pembinaan ideologi Pancasila, termasuk lembaga yang mengaturnya.
"Saya termasuk orang yang mendorong supaya ada aturan perundangan yang lebih jelas soal pembinaan Pancasila ini," katanya.
Menurut dia, apabila masalah pendidikan, kesehatan, hingga olahraga diatur oleh undang-undang, Pancasila sebagai falsafah negara dan sumber dari segala sumber hukum seharusnya termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945.
Namun karena amandemen UUD 1945 memerlukan proses yang panjang, maka yang memungkinkan adalah pembentukan Undang-undang yang mengatur pembinaan ideologi Pancasila.
"Yang paling mungkin sekarang adalah masih dalam undang undang, kalau ada atensi, ada politikal will dari pemerintah dan DPR, tidak ada kesulitan kalau kita bicara UU," katanya.
Sementara itu Bayu mengatakan bahwa perlu adanya sistem yang terpadu untuk kembali mengenalkan Pancasila kepada masyarakat. Sehingga pengenalan Pancasila tidak dilakukan secara bebas atau sendiri sendiri agar lebih berjalan efektif.
Selain itu landasan hukum pengenalan Pancasila tersebut harus kuat, artinya tidak cukup hanya melalui Peraturan Presiden (Perpres).
"Pembinaan Pancasila sebagai dasar itu level 4, dibawah Undang-undang Dasar, Undang undang, PP, dan perpres sehingga perangkat negara kita tidak maksimal. ide nya oke tapi untuk pelaksanaanya tidak cukup," katanya.
Dengan adanya landasan hukum yang kuat, maka pemerintah atau negara memiliki kewajiban untuk melindungi bangsa Indonesia dari serbuan ideologi trans nasional.
Selain itu menurutnya perlu adanya lembaga yang memperkenalkan Pancasila sebagai Ideologi yang sesuai dengan Indonesia sekarang ini.
Memberikan pemahamaman kepada masyarakat bahwa Pancasila merupakan Ideologi yang tepat dibanding dengan yang lainnya.
"Karena misalnya komunisme kita lebih baik Pancasila, karena kita punya Ketuhanan yang Maha Esa, dari konteks segi kapitalisme atau liberalisme misalnya, Pancasila lebih sesuai karena kita punya sila Keadilan Sosial, kemudian dalam konteks ideologi ala ISIS misalnya , Pancasila lebih sesuai karena memiliki sila Persatuan Indonesia," tuturnya.
Peran BPIP
Doli mengaku sangat setuju ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk UKPIP (Unite Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila) yang kemudian diganti menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada 2018 lalu.
Menurut dia dengan adanya lembaga tersebut maka pengenalan Pancasila kembali hidup setelah terjadi kekosongan Pasca Reformasi.
Ke depannya menurut Doli BPIP harus memiliki konsep dalam menghadirkan pancasila dalam seluruh kehidupan masyarakat, termasuk dalam dunia pendidikan.
"Kedua membuat pendekatan yang tidak boleh ada Indoktrinasi, harus partisipatoris. Kan anak anak muda sekarang ini tidak bisa didikte, ditekan, pendekatannya harus sesuai dengan karakter mereka," katanya.
Ketiga BPIP harus bisa menjaga agar Indoensia tidak dimasuki oleh ideologi lain selain Pancasila. Membuat masyarakat yakin bahwa Pancasila adalah yang paling rasional untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu Bayu menilai bahwa BPIP harus membuat model pengenalan tanpa menjustifikasi era sebelumnya.
Artinya tidak menjadikan Pancasila menjadi alat kekuasaan, melainkan disesuikan dengan alam demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia.
Oleh karena itu kata dia, BPIP sebaiknya diatur oleh Undang-undang, bukan Perpres.
"Kalau Perpres itu kental dengan dikte Presiden. Presiden mau mengatur bagaimana BPIP, akan dibuat seperti apa, untuk kepentingan Presiden, DPR tidak bisa awasi karena ini ranah eksekutif sekali. Kalau dengan UU, DPR bisa mengawasi.
Selain itu menurut dia, BPIP harus merumuskan arah kebijakan ideologi Pancasila. Mengkoordinasikan lembaga-lembaga negara dalam membina atau mengamalkan Pancasila.
Mulai dari membuat standarisasi, monitoring, dan evaluasi.
"Sehingga lembaga-lembaga tidak saling menyalip dalam pembinaan ideologi Pancasila," pungkasnya.