TRIBUNNEWS.COM - Buronan terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra atau Joko Soegiarto Tjandra, telah berhasil ditangkap.
Berdasarkan sumber Tribunnews.com di Kejaksaan Agung, Djoko Tjandra akan tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma pada Kamis (30/7/2020) malam ini.
Djoko Tjandra akan diberangkatkan ke Indonesia menggunakan pesawat khusus.
Ia diperkirakan akan tiba pada pukul 22.00 WIB.
Baca: Kondisi di Bandara Halim Perdanakusuma Jelang Kedatangan Djoko Tjandra dari Malaysia
Baca: Jaksa Pinangki yang Temui Buron Kejagung Djoko Tjandra Mangkir dari Panggilan Komisi Kejaksaan
"Hari Kamis (30/07) sekira pukul 22:00 TIM PENYIDIK GABUNGAN BARESKRIM POLRI dan Buronan Joko Tjandra tiba di Bandara Halim Perdana Kusumah dengan pesawat khusus.
Ada info lain segera diupdate.
Terima kasih," demikian informasi sumber Tribunnews.com.
Namun, dilansir dari tayangan langsung TV One, hingga pukul 22.30 WIB, Djoko Tjandra belum tiba di tanah air.
Perjalanan kasus Djoko Tjandra melalui lika-liku yang panjang.
Dikutip dari Kompas.com, skandal cessie Bank Bali bermula saat bank tersebut kesulitan menagih piutangnya yang tertanam di BDNI, Bank Umum Nasional (BUN), dan Bank Tiara pada 1997.
Saat itu, krisis moneter melanda sejumlah negara termasuk Indonesia.
Total piutang di ketiga bank tersebut mencapai Rp 3 triliun.
Akan tetapi, hingga ketiga bank itu masuk perawatan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan tersebut tak kunjung cair.
Dikutip dari liputan khusus Kontan, di tengah keputusasaannya, Direktur Utama Bank Bali, Rudy Ramli akhirnya menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima (EGP).
Baca: LIVE STREAMING Penangkapan Djoko Tjandra, Akan Tiba di Indonesia Malam Ini
Baca: FAKTA Penangkapan Djoko Tjandra: Buron Sejak 2009, Dijemput di Bandara Halim
Saat itu, Djoko Tjandra menjabat sebagai direktur.
Sementara, Setya Novanto yang kala itu sebagai Bendahara Umum Partai Golkar menjabat sebagai Direktur Utamanya.
Perjanjian kerja sama pun diteken pada 11 Januari 1999 oleh Rudy Ramly, Direktur Bank Bali Firman Sucahya dan Setya Novanto.
Disebutkan bahwa EGP akan menerima fee sebesar setengah dari piutang yang dapat ditagih.
Bank Indonesia dan BPPN akhirnya setuju untuk menggelontorkan uang sebesar Rp 905 miliar.
Namun, Bank Bali hanya kebagian Rp 359 miliar, sedangkan Rp 546 miliar sisanya masuk ke rekening PT EGP.
Kasus Terkuak
Kasus itu kemudian terkuak ketika pakar hukum perbankan, Pradjoto, mengendus adanya korelasi dengan pengumpulan dana untuk memajukan Habibie sebagai presiden.
Kejanggalan tersebut terlihat dari total fee yang diterima EGP.
Tak hanya itu, proses cessie juga tak diketahui BPPN.
Padahal, BDNI saat itu sedang dirawat oleh BPPN.
Cessie tersebut juga tak dilaporkan ke Bapepam dan Bursa Efek Jakarta, meski Bank Bali telah melantai di bursa.
Penagihan kepada BPPN pun ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan EGP.
Kepala BPPN saat itu, Glenn MS Yusuf, menyadari sejumlah kejanggalan tersebut.
Ia akhirnya membatalkan perjanjian cessie.
Pada 27 September 1999, Kejaksaan Agung mulai mengusut perkara pidana Djoko Tjandra.
Awalnya, Djoko sempat ditahan oleh kejaksaan pada 29 September 1999-8 November 1999.
Namun setelah itu, ia berstatus tahanan kota hingga 13 Januari 2000.
Awal Februari 2000, kasus pidana itu mulai bergulir ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Meski sebelumnya Kejaksaan Agung sempat menahan Djoko pada 14 Januari hingga 10 Februari 2000, Djoko akhirnya kembali menyandang status tahanan kota pada 10 Februari berkat ketetapan Wakil Ketua PN Jakarta Selatan.
Baca: FAKTA Penangkapan Djoko Tjandra: Buron Sejak 2009, Dijemput di Bandara Halim
Selanjutnya, pada 6 Maret, putusan sela PN Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap Djoko tidak dapat diterima.
Ia pun dilepaskan dari tahanan kota.
Dalam rentang April-Agustus 2000, jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar mengajukan dakwaan berupa dugaan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.
Djoko Tjandra pun dituntut hukuman penjara 1 tahun 6 bulan.
Namun majelis hakim yang diketuai Soedarto dan Muchtar Ritonga serta Sultan Mangun sebagai anggota itu justru melepaskan Djoko Tjandra dari segala tuntutan.
Perbuatan Djoko Tjandra dinilai bukan sebagai perbuatan pidana, melainkan perdata.
Antasari pun mengajukan kasasi ke MA.
Namun, majelis hakim agung MA kembali melepaskan Djoko Tjandra dari segala tuntutan.
Putusan itu diambil dengan mekanisme voting karena adanya perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap, dengan hakim Artidjo Alkostar.
Pada Oktober 2008, Kejagung mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA.
MA menerima dan menyatakan Direktur PT Era Giat Prima itu bersalah.
Djoko dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.
Djoko Tjandra Kabur
Namun, sehari sebelum putusan, tepatnya pada 10 Juni 2009, Djoko berhasil melarikan diri dengan menggunakan pesawat carter ke Port Moresby, Papua Nugini.
Bahkan, pada 2012, pihak Papua Nugini memberikan status kewarganegaraan kepada Djoko Tjandra.
Diberitakan Kompas.com, alih status warga negara itu tidak sah karena Djoko masih memiliki permasalahan hukum di Indonesia.
Ajukan PK
Belakangan, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengaku kecolongan oleh Djoko Tjandra.
Sebab, ia mendapat informasi bahwa Djoko Tjandra sudah berada di Indonesia sejak tiga bulan lalu.
Djoko Tjandra muncul setelah sebelas tahun buron.
Selama ini, Djoko Tjandra diketahui kerap berada di Malaysia atau Singapura.
Tak hanya itu, Djoko Tjandra juga telah mengajukan PK ke PN Jaksel.
"Yang melukai hati saya, saya dengar Djoko Tjandra bisa ditemui dimana-mana, di Malaysia dan Singapura. Tapi kita minta kesana-sini juga tidak bisa ada yang bawa."
"Informasinya lagi yang menyakitkan hati saya adalah katanya tiga bulanan dia ada di sini. Baru sekarang terbukanya," ucap Burhanuddin seperti yang diberitakan Kompas.com, Senin (29/6/2020) lalu.
Proses sidang PK yang diajukannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun terus bergulir.
PN Jaksel sudah menggelar sidang tersebut sebanyak tiga kali, yaitu pada 29 Juni 2020, 6 Juli 2020, dan Senin (20/7/2020) lalu.
Namun, Djoko Tjandra tak menghadiri satu pun sidang tersebut dengan alasan sakit.
Dilansir Kompas.com, Djoko kemudian meminta agar sidang digelar secara virtual.
Majelis hakim pun kembali menunda sidang dan dijadwalkan untuk digelar kembali pada 27 Juli 2020 lalu.
Kini, Djoko Tjandra akhirnya ditangkap dan diberangkatkan kembali ke Indonesia dari Malaysia.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Djoko Tjandra, Sosok "Joker" di Balik Kasus Cessie Bank Bali",
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta, Kompas.com/Dani Prabowo/Devina Halim/Tsarina Maharani)