News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Komisioner KPU Terjaring OTT KPK

Wahyu Setiawan Dinilai Tak Penuhi Syarat Ditetapkan Jadi Justice Collaborator, Ini Alasan Jaksa

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menilai Wahyu Setiawan, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, tidak memenuhi persyaratan untuk dapat ditetapkan sebagai Justice Collaborator (JC).

Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Sigit Waseso, mengungkapkan alasan mengapa Wahyu dinilai tidak layak ditetapkan sebagai JC.

Menurut dia, Wahyu merupakan pelaku utama penerimaan uang atau suap dari kader PDI Perjuangan Saeful Bahri, terkait kasus suap permohonan Penggantian Antar Waktu (PAW).

Kemudian Wahyu Setiawan oun menerima suap dari Rosa Muhammad Thamrin Payapo, Sekretaris Jenderal KPU Provinsi Papua Barat terkait proses seleksi Calon Anggota KPU Provinsi Papua Barat periode tahun 2020 - 2025.

Baca: Eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan Dituntut 8 Tahun Penjara

"Kami selaku Penuntut Umum menilai Terdakwa tidak layak untuk dapat ditetapkan sebagai JC karena yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam SEMA Nomor 04 tahun 2011," kata Sigit saat membacakan tuntuan di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (3/8/2020).

Dalam persidangan, diketahui Wahyu Setiawan melalui tim penasihat hukumnya mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim agar dapat ditetapkan menjadi saksi pelaku yang bekerjasama atau JC.

Baca: Majelis Hakim Perlu Pertimbangkan Pengajuan JC Wahyu Setiawan

Sigit menjelaskan, sehubungan adanya permohonan tersebut pihaknya memberikan pendapat dengan berpedoman pada ketentuan SEMA Nomor 4 tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu yang mengatur tata cara penetapan terhadap JC.

"Harus memenuhi syarat-syarat antara lain yang bersangkutan bukanlah pelaku utama (perannya sangat kecil), bersikap kooperatif dalam membuka tindak pidana yang melibatkan dirinya maupun pihak-pihak lain yang mempunyai peranannya lebih besar," ujarnya.

Berdasarkan fakta-fakta hukum persidangan, kata dia, telah dapat dibuktikan Wahyu merupakan “pelaku utama” dalam penerimaan uang (suap) dari Saiful Bahri terkait permohonan penggantian Caleg DPR RI dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku di KPU RI.

"Demikian pula telah dapat dibuktikan terdakwa merupakan pelaku utama dalam penerimaan uang (suap) dari Rosa Muhammad Thamrin Payapo terkait proses seleksi Calon Anggota KPU Provinsi Papua Barat periode tahun 2020 - 2025," ujarnya.

Baca: Ajukan Justice Collaborator, Eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan Siap Bongkar Kasus Harun Masiku

Selain terbukti sebagai pelaku utama dalam kedua perbuatan yang didakwakan tersebut, pada pemeriksaan persidangan Penuntut Umum menilai terdakwa tidak terlalu kooperatif.

"Jangankan membuka keterlibatan pihak lain, untuk mengakui perbuatan yang dilakukannya saja terdakwa masih memberikan keterangan yang berbelit-belit dengan sejumlah bantahan," katanya.

Jaksa pun membeberkan ketidakterbukaan Wahyu Setiawan dalam persidangan, di antaranya bantahan hanya bercanda menuliskan ucapan 1000.

Kemudian bantahan mengenai uang yang diterima dari Saeful Bahri tidak terkait dengan surat permohonan penggantian caleg Harun Masiku di KPU RI.

Serta bantahan mengenai uang yang ditransfer Rosa Muhammad Thamrin Payapo adalah untuk bisnis property.

"Bantahan-bantahan tersebut sama sekali tidak beralasan karena bertentangan dengan keterangan saksi-saksi maupun alat bukti lainnya," katanya.

Untuk diketahui, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, Wahyu Setiawan, pidana penjara selama 8 tahun dan pidana denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.

Jaksa Penuntut Umum meyakini Wahyu Setiawan bersama-sama dengan Agustiani Tio Fridelina terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.

Di antaranya menerima uang sebesar SGD19,000.00 dan sebesar SGD38,350.00 atau seluruhnya setara dengan jumlah sebesar Rp 600 juta dari Saeful Bahri, kader PDI Perjuangan.

Upaya pemberian suap itu dilakukan agar Wahyu, selaku Komisioner KPU RI menyetujui permohonan Penggantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI Partai PDI Perjuangan dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan 1, yakni Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

Selain itu, Wahyu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, yaitu menerima uang sebesar Rp 500 juta dari Rosa Muhammad Thamrin Payapo, Sekretaris Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua Barat, terkait proses seleksi Calon Anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode tahun 2020 – 2025.

Tak hanya pidana pokok, Wahyu dituntut pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun terhitung pada saat terdakwa selesai menjalani pidana.

Sedangkan, Agustiani juga dituntut pidana penjara selama 4 tahun dan enam bulan penjara serta denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan.

Jaksa menilai hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam mengajukan tuntutan pidana.

Hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan para Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Kemudian perbuatan para terdakwa berpotensi mencederai hasil pemilu sebagai proses demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat.

Serta, para Terdakwa telah menikmati keuntungan dari perbuatannya.

Sedangkan, hal-hal yang meringankan, yaitu Para Terdakwa bersikap sopan selama pemeriksaan di persidangan dan Para Terdakwa mengakui kesalahannya dan menyesali perbuatannya.

Wahyu dituntut dengan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dalam dakwaan primair.

Serta melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan kumulatif (kedua).

Sedangkan, Agustiani dituntut pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP,
sebagaimana dalam dakwaan primair.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!

Berita Populer

Berita Terkini