Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dinilai dapat menyelesaikan permasalahan tumpang tindih regulasi dan sulitnya investasi masuk ke Indonesia.
"Secara anggaran dan waktu jelas lebih efektif karena semuanya diselesaikan dalam satu aturan besar," kata Pakar hukum Perdata Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Agus Prihartono dalam diskusi virtual, Jakarta, Rabu (12/8/2020).
Menurutnya, sistem RUU Cipta Kerja yang memungkinkan 74 undang-undang terkait dibahas dalam satu payung hukum dan akhirnya menciptakan efisiensi anggaran legislasi.
Baca: Menteri Sosial Juliari P Batubara Jelaskan 3 Regulasi Pelaksanaan CSR oleh Badan Usaha
"Coba bayangkan kalau kita melakukan perubahan sebanyak 74 Undang-Undang, pasti biaya legislasinya akan sangat besar sekali," ucap Agus.
Agus pun menyebut, efisiensi waktu juga sangat diakomodir melalui penerapan sistem RUU Cipta Kerja, karena masih cukup banyak kekurangan dari undang-undang terkait kemudahan berusaha di Indonesia.
"Omnibus Law ini bisa kita harapkan sebagai wadah solutif terhadap kekurangan undang-undang yang ada. Ibaratnya, sekali mendayung bisa 74 lebih pulau terlewati," tutur Agus.
Baca: Banyak Regulasi yang Harus Menyesuaikan dengan Perkembangan dan Dinamika Global
"Kalau kita bandingkan dengan Singapura, di sana cukup dua perizinan dan aturan saja yang perlu dipenuhi untuk memulai usaha. Di Indonesia? Jumlah izin dan aturan yang perlu dilewati sangat banyak," sambung Agus.
Diketahui, RUU Cipta Kerja terdiri atas 11 klaster pembahasan yang dituangkan dalam 15 bab dan 174 pasal.
Selain klaster ketenagakerjaan, 10 klaster lainnya yaitu, penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, serta kemudahan, kemberdayaan, dan perlindungan UMKM dan perkoperasian.
Kemudian, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek strategis nasional, dan kawasan ekonomi.