TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik yang muncul akibat wacana pendidikan militer satu semester bagi mahasiswa sebagai kerja sama antara Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, membuat SETARA Institute mengeluarkan lima catatan bagi pemerintah.
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie mengatakan catatan pertama pihaknya adalah Kemendikbud seharusnya menjamin kebebasan mimbar akademik kampus.
"SETARA Institute memiliki catatan sebagai berikut, pertama, Kemendikbud seharusnya menjamin kebebasan mimbar akademik kampus yang terberangus beberapa waktu kebelakang, ketimbang mengaminkan militerisasi sektor pendidikan," ujar Ikhsan, dalam keterangannya, Rabu (19/8/2020).
Kedua, mengingat kampus merupakan dunia akademik yang nantinya akan melahirkan pelbagai profesi, Ikhsan menilai program Bela Negara di kampus seharusnya diarahkan kepada pengabdian sesuai dengan profesi, ketimbang hal-hal militeristik.
Baca: Wacana Pendidikan Militer, Kemendikbud Gagal Paham Lihat Kebutuhan dan Prioritas Dunia Pendidikan
"Pengabdian sesuai dengan profesi juga termasuk salah satu bentuk keikutsertaan warga negara dalam upaya Bela Negara seperti yang disebutkan Pasal 6 ayat (2) UU PSDN," kata dia.
Catatan ketiga, SETARA meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja kementerian dalam kerangka agenda reformasi TNI.
Menurut Ikhsan, beberapa kementerian justru menjadi pintu masuk perluasan peran militer dalam ranah sipil, bahkan kementerian yang lingkup kerjanya diluar OMSP serta jabatan sipil yang dikecualikan untuk TNI aktif seperti yang disebutkan dalam UU TNI.
Keempat, Ikhsan menilai DPR perlu aktif dalam pengawasan setiap agenda reformasi TNI. Terutama dalam hal keterlibatan DPR terkait kebijakan dan keputusan politik negara yang menjadi dasar TNI dalam menjalankan tugasnya.
"Yakni sebagai alat negara di bidang pertahanan dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti yang diatur dalam UU TNI," jelas Ikhsan.
Catatan terakhir, Ikhsan mengatakan pemerintahan sipil seharusnya turut memastikan profesionalitas alat negara, dalam hal ini TNI-Polri, dengan tidak memberikan jabatan-jabatan sipil tertentu dan/atau membuka kerjasama-kerjasama di luar pengaturan perundang-undangan.
"Reformasi TNI dan Polri harus berjalan dua arah atau timbal balik, dimana TNI-Polri fokus melakukan reformasi, sementara presiden/DPR/politisi sipil wajib menjaga proses reformasi itu berjalan sesuai mandat konstitusi dan peraturan perundang-undangan," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menjajaki kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merekrut mahasiswa untuk terlibat dalam latihan militer melalui program bela negara dengan cara para mahasiswa mengikuti pendidikan militer satu semester.
Terkait hal itu, peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie menilai wacana tersebut memperlihatkan Kemendikbud yang gagal paham akan prioritas pendidikan saat ini.
"Melalui wacana kerjasama ini, yang terlihat justru pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, gagal paham dalam melihat kebutuhan dan prioritas dunia pendidikan. Dengan sejumlah persoalan beberapa waktu kebelakang yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap kebebasan akademik kampus, alih-alih menjamin kebebasan mimbar akademik kampus, Kemendikbud malah mengaminkan militerisasi sektor pendidikan," ujar Ikhsan, dalam keterangannya, Rabu (19/8/2020).