TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Uang suap Rp 7 miliar yang diterima Jaksa Pinangki Sirna Malasari dari Djoko Tjandra ternyata sebagai uang muka untuk pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA).
Pengurusan Fatwa MA tersebut dilakukan agar Djoko Tjandra tidak dieksekusi Kejaksaan Agung RI saat masih berstatus buronan kasus korupsi cassie Bank Bali.
Direktur Penyidikan JAM Pidsus Kejaksaan Agung RI, Febrie Ardiansyah mengatakan sebetulnya nominal yang diajukan Jaksa Pinangki kepada Djoko Tjandra lebih dari Rp 7 milliar.
"Lebih lah, itu kan DP, uang muka," kata Febrie di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Kamis (3/9/2020) malam.
Ia mengatakan proposal biaya kepengurusan fatwa MA yang diajukan Jaksa Pinangki untuk sejumlah peruntukkan.
Baca: Kasus Djoko Tjandra: Jaksa Pinangki Kembali Jalani Pemeriksaan di Kejagung
Namun demikian, dia enggan membeberkan lebih lanjut terkait rinciannya.
"Waduh itu banyak itemnya. Macem-macem itu biaya-biayanya. Pasti sidang dibuka tuh ada biaya ini lah, macem macem itu," katanya.
Namun, ketika uang Rp 7 miliar diserahkan kepada Pinangki, Djoko Tjandra mengendus ada yang tidak beres.
"Ketika uang muka dibayar, ternyata Djoko Tjandra curiga, sehingga putus urusan fatwa, sebatas itulah kejadian Pinangki," kata Febrie.
Baca: Kenalkan Jaksa Pinangki Dengan Djoko Tjandra, Kejagung Telusuri Aliran Dana Kepada Rahmat
Betul saja kecurigaan Djoko Tjandra tersebut, ternyata Jaksa Pinangki tidak bisa mengurus Fatwa MA seperti yang dijanjikan.
Hingga akhirnya Djoko Tjandra memilih untuk mengurus melalui jalur Peninjauan Kembali (PK).
Dalam kasus ini, Djoko Tjandra menunjuk Anita Kolopaking yang mengurus prosesnya.
"Kemudian masuklah Anita yang sudah dikenalkan Pinangki untuk meyakinkan Djoko Tjandra lagi bahwa sebenernya yang bisa diurus itu PK. Nah jalannya proses PK itu yang sedang disidik di Bareskrim," jelasnya.
Baca: Kejagung: Suap Djoko Tjandra Kepada Jaksa Pinangki Rp 7 Miliar Hanya Sebagai Uang Muka
Namun demikian, ia enggan menjelaskan lebih lanjut terkait materi penyidikan yang berada di ranah penyidik Bareskrim Polri.
Dalam kasus ini, uang yang diberikan Djoko Tjandra untuk mengurus PK berbeda dengan uang yang diberikan kepada Pinangki.
"Itu prosesnya di Mabes Polri lah. Yang jelas prosesnya Pinangki itu jualannya fatwa. Anita setelah putus urusan fatwa masuk sendiri menawarkan PK. (Uang Suap, Red) beda lagi, itu mabes Polri lah yang tahu," katanya.
Bawa Andi Irfan yakinkan Djoko Tjandra
Jaksa Pinangki membuat perjanjian dengan Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa MA di Kuala Lumpur, Malaysia pada akhir 2019 lalu.
Saat itu, kedatangan Jaksa Pinangki ditemani mantan politikus partai Nasdem Andi Irfan Jaya
Dalam kesempatan itu, Andi memiliki misi untuk meyakinkan Djoko Tjandra.
Direktur Penyidikan JAM Pidsus Kejaksaan Agung RI, Febrie Ardiansyah mengatakan Andi Irfan Jaya dibawa Pinangki dari Indonesia.
Saat itu, Andi Irfan bertugas untuk meyakinkan Djoko Tjandra agar mau dibantu kepengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA).
"Pinangki bawa Andi Irfan ke Kuala Lumpur untuk menemui Djoko Tjandra. Mengenai peran dia yang jelas bersama-sama Pinangki untuk bagaimana meyakinkan Joko Tjandra untuk percaya," kata Febrie di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Kamis (3/9/2020) malam.
Baca: Anita Kolopaking Disebut Terima Suap Rp 500 Juta dari Jaksa Pinangki untuk Urus Fatwa MA
Febrie mengatakan Andi Irfan Jaya berjualan di depan Djoko Tjandra agar mau memilih Jaksa Pinangki untuk kepengurusan fatwa MA agar tidak dieksekusi.
Saat itu, ia juga memaparkan proposal biaya untuk kepengurusan tersebut.
"(Andi Irfan, Red) ketemu dan meyakinkan mengenai biaya di kepengurusan fatwa kan langsung. Kayak marketing lagi jual mobil lah. Kalau marketing kan harus meyakinkan betul. Bagaimana mobil ini bagus, sehingga dia bawa temannya juga yang meyakinkan juga. Namanya orang mau jual mobil marketing ya begitulah," katanya.
Lewat perantara
Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI Hari Setiyono mengatakan Djoko Tjandra tak secara langsung memberikan uang kepada Jaksa Pinangki dalam kasus tersebut.
Djoko Tjandra memberikan uang kepada Jaksa Pinangki melalui tersangka Andi Irfan.
"Dugaannya sementara ini tidak langsung kepada oknum jaksa tetapi diduga melalui tersangka yang baru ini," kata Hari di Gedung JAM Pidsus, Jakarta Selatan, Rabu (2/9/2020).
Ia mengatakan Andi Irfan merupakan kerabat dekat dari Jaksa Pinangki.
Keduanya diduga melakukan pemufakatan jahat bersama-sama terkait kepengurusan fatwa MA kepada Djoko Tjandra.
Baca: BREAKING NEWS: Adik Ipar Djoko Tjandra Perantara Suap Kepada Pinangki Meninggal Karena Covid-19
"Adanya dugaan permufakatan jahat yang dilakukan oleh tersangka oknum jaksa PSM dengan JST dalam rangka mengurus fatwa," jelasnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan penyidik masih akan terus melengkapi alat bukti dan berkas perkara untuk membuktikan hal tersebut di pengadilan.
"Jadi penyidik akan melengkapi penyidikannya untuk membuktikan memenuhi unsur tindak pidana yang disangkakan terkait dengan peran dari tersangka yang baru ditetapkan hari ini. Yaitu dugaan adanya pemufakatan jahat di antara ketiganya itu," pungkasnya.
Sebelumnya, kuasa hukum Djoko Tjandra, Susilo Aribowo mengungkapkan cara kliennya memberikan uang untuk mengurus perkara pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) terkait eksekusinya dalam kasus korupsi cassie bank Bali.
Susilo mengatakan Djoko Tjandra memberikan uang itu kepada seseorang bernama Andi Irfan Jaya melalui adik ipar Djoko Tjandra.
Uang tersebut diduga sebagai imbalan untuk membantu kepengurusan kasus tersebut.
Namun, Susilo juga tidak menjelaskan ihwal identitas Andi Irfan Jaya yang menjadi penerima dana tersebut.
Baca: Kejaksaan Agung Periksa Adik dan Kerabat Jaksa Pinangki Terkait Kasus Suap Djoko Tjandra
"Yang ada dia (Djoko Tjandra, Red) menyerahkan uang kepada Andi melalui iparnya. Namanya Herijadi," kata Susilo di Kejaksaan Agung RI, Selasa (1/9/2020).
Kendati demikian, Susilo tak menjelaskan secara rinci nominal uang yang diberikan Djoko Tjandra.
Hal pasti, kliennya tidak mengetahui secara pasti apakah Andi Irfan telah menerima uang yang diserahkan kepada suadaranya itu.
"Cuma tidak konfirmasi apakah sudah diterima atau belum oleh Andi, pak Djoko juga tidak tahu," katanya.
Adik ipar Djoko Tjandra
Kuasa hukum Djoko Tjandra, Susilo Aribowo mengungkapkan sosok orang yang ikut menjadi perantara suap Jaksa Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Tjandra yang diduga telah meninggal dunia.
Menurut Susilo, orang tersebut adalah Herijadi yang tak lain merupakan adik ipar Djoko Tjandra.
Salah satu pelaku yang menjadi perantara suap ke Jaksa Pinangki itu meninggal sejak Februari 2020 lalu.
"Itu adik ipar Joker (Djoko Tjandra, Red), namanya Herijadi. Infonya dari sekitar Februari 2020," kata Susilo kepada wartawan, Kamis (3/9/2020).
Baca: Keterlibatan Adik Ipar Djoko Tjandra Terkait Kasus Jaksa Pinangki Ditelusuri
Susilo mengatakan Herijadi menjadi salah satu korban meninggal dunia lantaran terpapar Covid-19.
Ia menuturkan Herijadi menghembuskan nafas terakhirnya di Indonesia.
"Meninggal karena Covid di Indonesia," katanya
Untuk diketahui, dalam kasus ini Kejaksaan Agung menetapkan 3 orang tersangka.
3 Tersangka tersebut yakni Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Djoko Tjandra, dan Andi Irfan Jaya.
Baca: ICW Sebut Normatif Pernyataan Firli Bahuri Terkait Pengambilalihan Kasus Jaksa Pinangki
Jaksa Pinangki dan Andi Irfan Jaya pun kini sudah dilakukan penahanan, sementara Djoko Tjandra mendekam di penjara untuk menjalani hukuman sebagai narapidana korupsi cassie Bank Bali.
Jaksa Pinangki Sirna Malasari telah ditetapkan tersangka dalam kasus suap pengurusan Fatwa Mahkamah Agung (MA) terkait eksekusi Djoko Tjandra.
Diduga, Pinangki menerima hadiah sebesar USD 500.000 atau Rp 7 milliar dari Djoko Tjandra.
Uang itu diduga telah digunakan oleh Jaksa Pinangki untuk sejumlah peruntukkan.
Terakhir, penyidik menyita satu mobil mewah berjenis BMW SUV X5 milik Jaksa Pinangki.
Hingga saat ini, Kejagung telah memeriksa sebanyak 14 saksi.
Dalam kasus ini, Pinangki dijerat pasal 5 ayat 1 huruf A undang-undang tindak pidana korupsi nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah undang-undang nomor 20 tahun 2001.
Selain itu, Pinangki disangka melanggar pasal 5 ayat 1 huruf b dan pasal 13 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. (Tribunnews.com/ Igman Ibrahim)