Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merampungkan pemeriksaan terhadap pensiunan TNI Kosasih Azis dan Direktur Piccadily sekaligus Direktur Tisco Komposit Internasional Wiwi Ayu Mokoginta dalam kasus korupsi penjualan dan pemasaran di PT Dirgantara Indonesia tahun 2007-2017.
Keduanya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Santoso.
Penyidik lembaga antirasuah mendalami pengetahuan kedua saksi terkait penerimaan uang dari mitra penjualan PT Dirgantara ke tersangka Budi Santoso.
Baca: KPK Kembali Dalami Aliran Uang Korupsi di PT DI dari Pensiunan TNI AD
"Penyidik mendalami pengetahuan kedua saksi tersebut terkait dugaan penerimaan kickback (sejumlah uang) dari pihak mitra penjualan kepada Tersangka BS dan juga pihak-pihak lainnya yang turut aktif dalam pelaksaanaan kegiatan proyek di PT DI," ujar Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (10/9/2020).
Selain Kosasih dan Wiwi, KPK juga memanggil dua saksi lainnya yakni pensiunan TNI Cahaya Ginting dan Advisor PT Kawasan Industri Jababeka Djoko Nugroho Sulistiyono. Keduanya tidak menghadiri panggilan penyidik KPK.
Baca: KPK Mengaku Belum Bisa Paparkan Secara Detil soal Dugaan Korupsi PT DI
Djoko sendiri disebut Ali telah meninggal dunia. Sementara itu belum diketahui alasan ketidakhadiran Pensiunan TNI Cahaya Ginting.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan bekas Direktur Utama PT DI Budi Santoso dan mantan Asisten Direktur Utama PT DI bidang Bisnis Pemerintah Irzal Rizaldi Zailani sebagai tersangka.
KPK menduga Budi dan Irzal bersama sejumlah pihak telah merugikan keuangan negara sekitar Rp205, 3 miliar dan 8,65 juta dolar AS atau sekira Rp300 miliar terkait kasus tersebut.
Nilai kerugian negara itu berasal dari jumlah pembayaran yang dikeluarkan PT Dirgantara Indonesia kepada enam perusahaan mitra atau agen penjualan dan pemasaran dari tahun 2008 hingga 2018.
Padahal, keenam perusahaan tidak pernah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian.
Kasus korupsi ini bermula pada awal 2008, saat Budi Santoso dan Irzal Rinaldi Zailani bersama-sama dengan Budi Wuraskito selaku Direktur Aircraft Integration, Budiman Saleh selaku Direktur Aerostructure, serta Arie Wibowo selaku Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan menggelar rapat mengenai kebutuhan dana PT Dirgantara Indonesia (Persero) untuk mendapatkan pekerjaan di kementerian lainnya.
Dalam rapat tersebut juga dibahas biaya entertaintment dan uang rapat-rapat yang nilainya tidak dapat dipertanggungjawabkan melalui bagian keuangan.
Setelah sejumlah pertemuan, disepakati kelanjutan program kerja sama
mitra atau keagenan dengan mekanisme penunjukkan langsung.
Selain itu, dalam penyusunan anggaran pada rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) PT Dirgantara Indonesia (Persero), pembiayaan kerja sama tersebut dititipkan dalam 'sandi-sandi anggaran' pada kegiatan penjualan dan pemasaran.
Budi Santoso selanjutnya memerintahkan Irzal Rinaldi Zailani dan Arie Wibowo untuk menyiapkan administrasi dan koordinasi proses kerja sama mitra/keagenan.
Irzal lantas menghubungi Didi Laksamana untuk menyiapkan perusahaan yang akan dijadikan mitra/agen.
Setelah itu, mulai Juni 2008 hingga 2018, dibuat kontrak kemitraan/agen antara PT Dirgantara Indonesia yang ditandatangani oleh Direktur Aircraft Integration dengan Direktur PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha.
Namun, atas kontrak kerja sama mitra/agen tersebut, seluruh mitra/agen tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerjasama.
Pembayaran nilai kontrak tersebut baru mulai dibayarkan PT Dirgantara Indonesia kepada perusahaan mitra/agen pada 2011 atau setelah menerima pembayaran dari pihak pemberi pekerjaan.
Selama tahun 2011 hingga 2018, jumlah pembayaran yang telah dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia kepada enam perusahaan mitra/agen tersebut sekira Rp205,3 miliar dan 8,65 juta dolar AS.
Terdapat permintaan sejumlah uang baik melalui transfer maupun tunai sekira Rp96 miliar setelah keenam perusahaan tersebut menerima pembayaran.
Kemudian uang itu diterima oleh sejumlah pejabat di PT Dirgantara Indonesia, termasuk Budi, Irzal Rinaldi, Arie Wibowo, dan Budiman Saleh yang kini menjabat sebagai Direktur Utama PT PAL Indonesia.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Budi Santoso dan Irzal Rinaldi dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.