Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa saksi Lo Jecky dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait perkara di Mahkamah Agung (MA) tahun 2011-2016, Selasa (15/9/2020). Lo Jecky diperiksa untuk mantan Sekretaris MA Nurhadi.
Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri mengungkapkan, Lo Jecky adalah arsitek yang mendesain rumah Nurhadi di kawasan Jakarta Selatan, yakni di Hang Lekir dan Patal Senayan. Tim penyidik mencurigai Nurhadi membayar Lo Jecky dari hasil kejahatannya.
"Diduga bahwa dana yang dibayarkan oleh tersangka NHD (Nurhadi) untuk mendesain kedua rumah tersebut berasal dari suap dan gratifikasi yang diterimanya," ungkap Ali dalam keterangannya.
Baca: Ali Fikri Tepis Tudingan ICW Soal Proses Seleksi Jabatan Struktural di KPK Kurang Transparan
Tim penyidik KPK juga memeriksa seorang saksi lainnya untuk Nurhadi. Dia adalah Wilson Margatan yang disebut sebagai pihak swasta.
"Melalui keterangan saksi ini, penyidik masih terus mendalami adanya dugaan aliran uang oleh tersangka NHD ke berbagai pihak," beber Ali.
Tak hanya memeriksa saksi-saksi, KPK juga melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka Rezky Herbiyono, menantu Nurhadi. Penyidik berusaha mendalami kegiatan Rezky yang mengalirkan banyak uang kotor ke berbagai pihak.
"Penyidik mengkonfirmasi terkait dugaan banyaknya aliran uang yang diterima maupun diberikan oleh tersangka RHE (Rezky Herbiyono) dari dan ke berbagai pihak," kata Ali.
Mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono diduga kuat telah menerima sejumlah uang berupa cek dari Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. Rincian suap yang diberikan berupa sembilan lembar cek dengan total Rp46 miliar.
Baca: KPK Segera Teken Sprindik TPPU Mantan Sekretaris MA Nurhadi
Suap ditujukan agar Nurhadi menangani dua perkara yang melibatkan perusahaan Hiendra di MA. Adapun perkara yang ditangani pertama berasal dari kasus perdata PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) atau PT KBN dan perkara perdata saham di PT MIT.
Dalam penanganan perkara itu, Hiendra diduga meminta memuluskan penanganan perkara Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Kasasi Nomor: 2570 K/Pdt/2012 antara PT MIT dan PT KBN.
Kedua, pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan.
Selain itu, Nurhadi juga diminta Hiendra untuk menangani perkara sengketa saham PT MIT yang diajukan dengan Azhar Umar. Hiendra diduga telah memberikan uang sebesar Rp33,1 miliar kepada Nurhadi melalui Rezky. Penyerahan uang itu dilakukan secara bertahap dengan total 45 kali transaksi.
Baca: KPK Segera Teken Sprindik TPPU Mantan Sekretaris MA Nurhadi
Beberapa transaksi juga dikirimkan Hiendra ke rekening staf Rezky. KPK menduga, penyerahan uang itu sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan penggelembungan pengiriman uang. Sebab, nilai transaksi terbilang besar.
Sedangkan penerimaan gratifikasi, Nurhadi diduga telah menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp12,9 miliar melalui Rezky. Uang tersebut guna memuluskan penanganan perkara terkait sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian. Uang itu diterima Nurhadi dalam rentang waktu Oktober 2014 hingga Agustus 2016.
Sebagai pihak penerima, Nurhadi dan Rezky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Hiendra sebagai pihak pemberi, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Hingga saat ini, penyidik KPK telah berhasil menangkap Nurhadi dan Rezky. Mereka baru ditangkap pasca empat bulan ditetapkan buron oleh lembaga antirasuah itu.
Dengan demikian, hanya seorang tersangka yakni, Direktur MIT Hiendra Soenjoto yang belum diringkus oleh penyidik.