“Akibat kebijakan yang diskriminatif ini, pasien yang hemodialisa di tipe C dan D masih harus mengeluarkan uang karena banyak komponen obat yang tidak diterima. Hal itu menyebabkan banyak pasien harus tranfusi darah karena HB-nya turun karena obat untuk meningkatkan sel darah merah tidak dijamin."
"Tragisnya, mereka terkena penularan hepatitis C. Sekitar 60 persen pasien cuci darah terpapar hepatitis c setelah menjalani hemodialisa. Iuran sekarang sudah naik, tidak ada lagi cerita obat tak dijamin,” imbuhnya.
Dalam kerangka menghemat biaya BPJS Kesehatan, pasien cuci darah yang sudah melakukan transplantasi ginjal ini mengusulkan terapi utama berdasarkan cost effective dan kualitas hidup bagi pasien gagal ginjal adalah dengan transplantasi ginjal dan yang selanjutnya dapat dipertimbangkan adalah cuci darah mandiri (CAPD).
Perlu diketahui, biaya rata-rata pasien transplantasi ginjal perbulan berkisar 3 sampai 5 juta untuk pasien diatas 1 tahun.
Semakin tahun biayanya relatif semakin sangat kecil.
Bandingkan dengan hemodialisa yang mencapai lebih dari puluhan juta perbulan bahkan lebih jika memiliki komplikasi penyakit.
Baca: 8 Daftar Penyakit Berbahaya yang Ditanggung BPJS Kesehatan
Terapi CAPD juga lebih hemat biaya dari terapi cuci darah menggunakan mesin.
"Ini PR pemerintah bagaimana caranya bisa menghemat biaya, bukannya dengan mengurangi layanan obat,” usul Tony .
Ketika ditanya oleh Sekjen KPCDI, Petrus Hariyanto tentang janji Komisi IX yang akan memasukan pasien cuci darah peserta mandiri ke PBI, Sri Rahayu mengatakan sudah diupayakan.
“Karena pandemi COVID-19 jadi terhambat , tapi akan kami kawal kembali,” jelasnya.
Sri Rahayu, yang juga Wakil Ketua Komisi IX itu akan menyampaikan semua usulan KPCDI kepada kementerian terkait dan BPJS Kesehatan.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)