TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan berkesempatan berbincang dengan sosok tersangka kasus penusukan Syekh Ali Jaber, Alpin Adrian. Ken berbincang panjang lebar dengan Alpin.
Menurut Ken, Alpin berbicara dengan lancar. Pertanyaan yang diajukan oleh Ken, dijawab dengan lancar. "Ada motif yang mungkin belum di-sharing ke media," tutur Ken kepada Tribun, Selasa (22/9).
Ken dalam perbincangan bersama Alpin, sempat menanyakan bagaimana akhirnya Alpin bisa berpikiran untuk melakukan penusukan terhadap Syekh Ali Jaber. "Padahal jauh sebelum terkenal, Alpin itu sosok yang mengagumi Ali Jaber," tuturnya.
Alpin ternyata kerap menonton tayangan-tayangan yang menghadirkan sosok Syekh Ali Jaber. "Dia sempat menonton tayangan-tayangan Ali Jaber, sebelum tenar," sambung Ken.
Alpin memiliki kebencian, karena terpengaruh media sosial. Lalu, kerap ke warnet dan menonton tayangan-tayangan mengenai timur tengah. Terutama yang menyudutkan timue tengah.
"Ditambah Dia (Alpin) latar belakang keluarga broken home, keluarganya pisah, akhirnya dia nonton di warnet. Di situ dia ketemu seseorang yang memberikan informasi tentang tayangan-tayangan timur tengah," imbuh Ken.
Hingga Alpin memiliki kebencian yang begitu mendalam segala hal yang terkait timur tengah. Kesukaan terhadap kepada Syekh Ali Jaber, berubah menjadi kebencian. "Dia mulai berpikir, oh ternyata orang timur tengah jahat-jahat, sadis-sadis. Karena dia secara agama tidak kuat. Dari tadinya menyukai akhirnya kayak takut, 'Ngeri sekali berarti orang timur tengah'," imbuh Ken.
Ken mengatakan Alpin berbicara cukup lancar. Tak ada tanda-tanda tidak waras. Sebab, masih menjawab pertanyaan sesuai konteks pembahasan. "Dan tadi aku tanya, kamu kok pegang pisaunya bagus banget kayak orang terlatih. Dia mengakui pernah belajar pencak silat," kata Ken.
Ken berpandangan, sosok Alpin seperti tertakan. Ditambah kedua orang tuanya telah bercerai. Ken yang telah berpengalaman berbincang dengan kelompok radikal ini, melihat sosok Alpin tidak berafiliasi dengan kelompok radikal manapun.
"Dia masalah keluarga, ekonomi tidak mampu, secara agama dia Salat saja tidak bisa. Jadi kalau saya melihat ini lone wolf, dia melakukan sendiri, tunggal, tidak berafiliasi dengan kelompok manapun. Karena tayangan-tayangan dia akhirnya dari suka, menjadi tidak suka," tutur Ken.
Alpin terpengaruh di media sosial. Terprovokasi di media sosial bahwa Pemerintah Indonesia tidak adil, kemudian banyak koruptor dibiarkan. Ditambah tekanan karena orang tua yang berpisah. Kemudian terpengaruh dengan tayangan-tayangan yang menyudutkan timur tengah.
"Dia korban di internet, latar belakangnya adalah keluarga yang tidak harmonis. Dia bukan gila, tapi dia orang yang psikopat. Dia menyendiri, dia punya dunianya sendiri, punya pemikiran yang berbeda dengan umumnya. Sehingga dia melakukan hal-hal di luar nalar," ucap Ken.
Ken mengatakan Alpin berasal dari keluarga dengan ekonomi yang pas-pasan. Ibunya kerja sebagai Tenaga Kerja Wanita di Hongkong. Sementara Alpin sendiri belum berkeluarga.
"Dia tinggal di rumah sempit, satu rumah dihuni banyak keluarga. Kadang-kadang temperamen, marah, anak broken home. Punya waktu sela, dia punya duit ke warnet, main medsos, main game. Dan di situ dia ketemu seseorang. Siapa orang yang menunjukan, katanya dia tidak kenal, cuma ngasih lihat sesekali, terus tertarik sendiri," kata dia.
Ken melihat Alpin sebagai korban internet. Melihat tayangan-tayangan timur tengah tanpa mengetahui akar permasalahan. Terpengaruh dengan tayangan-tayangan ISIS.
"Perhatian bagi masyarakat umum, jangan tonton tayangan-tayangan yang sebenarnya kita tidak memahami sendiri. Kita bisa terpapar. Walaupun kita tidak berafiliasi dengan kelompok manapun," ujar Ken.