Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) mendesak Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri agar mempertimbangkan opsi penundaan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di sejumlah daerah di Tanah Air.
Alasannya, memaksakan tetap menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 berisiko tinggi terhadap penularan virus Covid-19 karena kegiatan ini memicu pengerahan massa dalam jumlah banyak.
Ketua ILUNI UI Andre Rahadian menegaskan, penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun 2020 berpotensi meningkatkan penularan Covid 19. Dia menilai penyelenggara Pilkada Serentak 2020 harus lebih realistis melihat kondisi negara walaupun tetap optimis.
Baca: Desakan Penundaan Pilkada Diprediksi Berpengaruh Terhadap Turunnya Partisipasi Pemilih
“Kita memang harus realistis dan melihat fakta bahwa penularan masih meningkat trennya. Selain itu, kondisi tidak berkumpul dalam proses pilkada ini hal yang sulit dihindarkan,” kata Andre dalam diskusi virtual Forum Diskusi Salemba ILUNI UI bertema Pilkada di Tengah Masa Pandemi: Siapkah Kita Melakukan Pesta Demokrasi? di Jakarta, Rabu (23/9/2020).
Infrastruktur Kesehatan Tak Akan Siap
Andre juga menelaskan, infrastruktur kesehatan akan kesulitan jika Pilkada Serentak membuat angka terinfeksi Covid-19 meningkat.
Baca: Di ILC, Fahri Hamzah Jawab Hujatan karena Dukung Gibran di Pilkada Solo: Kita Semua Berubah
Selain itu, infrastruktur digital juga dinilai belum merata terutama di daerah-daerah luar Jawa. Ia mengungkapan kekhawatiran jika Pilkada dilaksanakan dengan kerangka kerja seperti sebelum covid, justru akan memungkinkan penularan.
“Jika tidak memungkinkan kita bisa menunda, tidak harus sampai Covid-19 selesai, tapi setidaknya sampai persiapannya lebih siap,” ujarnya.
Namun Andre mengajak untuk tetap optimis dalam melakukan terobosan-terobosan yang belum pernah dilakukan dalam pemilihan.
Dia mengatakan, pemimpin daerah juga harus bisa melakukan gas-rem terhadap kondisi kesehatan dan sosial-ekonomi. Dia juga meminta Bawaslu untuk terus mengawasi proses pilkada yang bergulir.
Baca: Persatuan Dokter Gigi Minta Pemerintah Konsentrasi Tangani Covid-19, Sarankan Pilkada Ditunda
Andre juga mengingatkan agar tidak terjadi perbedaan interpretasi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dari berbagai pihak. Peraturan yang dibuat juga harus mengacu pada protokol kesehatan.
“Ini memang bukan pekerjaan KPU, Bawaslu, dan KPUD saja, tapi kita semua. Kita sama-sama mengedepankan kemaslahatan kesehatan pemilih,” kata dia.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Fritz Edward Siregar menyatakan, pelanggaran protokol kesehatan pada masa pendaftaran merupakan wake up call.
Dari 270 daerah yang mengadakan Pilkada, ada 243 pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan paslon dengan membawa massa. “Meski di dalam kantor KPU bisa menegakan protokol kesehatan, tapi di luar banyak protokol yang dilanggar. Itu jadi wake up call kita semua,” ujarnya.
Fritz tak menampik, protokol kesehatan tidak lagi cukup diawasi saat di dalam ruang KPU. Sejak 6 September sampai sekarang, Bawaslu juga telah melakukan koordinasi dalam rangka penerapan protokol di dalam dan di luar KPU.
Dia juga menyatakan, penetapan paslon hanya diumumkan via internet.
“Para paslon hanya dapat suratnya. Saat undian pun hanya boleh dihadiri oleh paslon, LO partai, dan satu perwakilan dari partai politik. Kalau datang ke kantor KPU bawa arak-arakan, pengundian tidak akan dilaksanakan,” bebernya.
Bawaslu juga telah membuat aturan untuk tidak membawa massa pasca sengketa. Jika ada yang datang membawa massa, maka dokumen dan sidang tidak akan dilaksanakan dan diproses sampai mengikuti protokol kesehatan.
Fritz mengingatkan peraturan ini harus ditegakan tak hanya dari Bawaslu dan kepolisian, tapi juga dari para peserta pemilu. “Tidak boleh lagi ada lomba-lomba, bazar, dan semacamnya. Parpol pun menerima untuk melanjutkan pilkada 2020 dengan menerapkan protokol kesehatan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI Aditya Perdana mengingatkan, esensi pilkada adalah mengantisipasi kerumunan massa yang terjadi. Dia mengatakan, kata kuncinya adalah menghilangkan sekaligus semua kerumunan massa seperti yang disarankan Satgas Covid-19 dan epidemiolog.
”Karena sudah kebiasaan pemilu itu dianggap pesta, jadi ya berkerumun,” ungkapnya. Ia menambahkan, jika terjadi kerumunan, akan ada potensi sekitar 5 juta orang terinfeksi virus corona setelah proses pilkada selesai Desember nanti.
Aditya menilai masalah serius ada di aktor dan regulasi. Ia mengatakan, penyelenggara masih punya waktu untuk merevisi berbagai regulasi terkait pelaksanaan pemilu. Ia meminta, regulasi tersebut jangan hanya mencontoh dari format sebelumnya saat situasi normal.
Namun, penyelenggara harus benar-benar membuat peraturan yang memasukkan protokol kesehatan di setiap tahapan pemilihan.
”Jika masih tidak memuaskan, silakan pertimbangkan apakah para penyelenggara layak dievaluasi atau tidak, karena layak atau tidak bisa ditentukan publik,” ungkap Aditya.