TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa penuntut umum menjerat Jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan dakwaan berlapis terkait Djoko Tjandra.
Salah satu dakwaan yakni penerimaan suap sebesar USD 500 ribu.
Jaksa menilai Pinangki telah menerima suap USD 500 ribu dari terpidana kasus cessie Bank Bali tersebut. Jaksa menyatakan, Pinangki menerima suap tersebut untuk mengurus fatwa ke Mahkamah Agung (MA) melalui Kejagung.
Melalui fatwa itu, Pinangki berupaya agar Djoko Tjandra tak dieksekusi ke penjara dengan berbekal putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016.
Diketahui dalam putusan itu, MK menegaskan pengajuan PK hanya boleh dilakukan terpidana/ahli warisnya.
Sedangkan putusan PK yang memvonis Djoko Tjandra selama 2 tahun penjara pada 2009, diajukan jaksa penuntut umum.
Jaksa mencatat Pinangki bertemu Djoko Tjandra di The Exchange 106 Kuala Lumpur, Malaysia, sebanyak tiga kali untuk mematangkan upaya fatwa tersebut. Tiga kali pertemuan itu terjadi pada 12, 19, dan 25 November 2019.
Baca: Terungkap di Pengadilan, Jaksa Pinangki Sunat Jatah Duit Suap untuk Anita Kolopaking
Baca: ICW Ungkap Ada 4 Hal yang Hilang dalam Dakwaan Jaksa Pinangki
Pada pertemuan terakhir, Pinangki bersama rekannya, Andi Irfan Jaya, menyodorkan 'action plan' ke Djoko Tjandra terkait upaya pengajuan fatwa tersebut.
Dalam action plan itu, muncul nama Burhanuddin dan Hatta Ali.
"Pada pertemuan tersebut (25 November), terdakwa (Pinangki) bersama Andi Irfan Jaya menyerahkan dan memberikan penjelasan mengenai rencana/planning berupa action plan yang akan diajukan kepada Djoko Tjandra untuk mengurus kepulangan Djoko Tjndra dengan menggunakan sarana fatwa MA melalui Kejaksaan Agung untuk dapat menindaklanjuti putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016, agar pidana penjara yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK 12 tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi. Sehingga (Djoko Tjandra) bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana," jelas jaksa.
Jaksa menyatakan, action plan tersebut terdiri dari 10 poin. Saat pertemuan itu, Andi Irfan Jaya menjelaskan 10 poin di action plan kepada Djoko Tjandra, 4 di antaranya menyinggung nama Burhanuddin selaku pejabat Kejaksaan dan Hatta Ali selaku pejabat Mahkamah Agung. Nama Burhanuddin disinggung dalam action plan poin 2, 3, 6 dan 7.
Sementara nama Hatta Ali disinggung dalam action plan poin 3, 6, dan 7. Namun, dalam dakwaan, tidak disebutkan jabatan detail Burhanuddin dan Hatta Ali. Dalam poin-poin tersebut, Burhanuddin disebut sebagai pejabat Kejagung, sementara Hatta Ali sebagai pejabat MA.
Sehingga belum jelas juga apakah yang dimaksud di dalam dakwaan itu adalah Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Ketua MA, Hatta Ali.
Dalam action kedua, disebutkan mengeni pengiriman surat dari pengacara kepada BR (Burhanuddin/pejabat Kejagung) yang dimaksudkan oleh terdakwa sebagai surat permohonan fatwa MA dari pengacara kepada Kejagung untuk diteruskan kepada MA.